Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Toska (1)


Desember 2015
Tiada lagi batas antara biru dan hijau
Laksana bentangan langit dan hamparan padang rumput berpadu



[Ingatan]

“Bukan gimana-gimana ya, untuk sekarang aku sama sekali nggak kepikiran… Eh, tapi aku nggak tahu juga. Aku hanya takut termakan omonganku sendiri…”


        Wajahnya langsung berubah masam. Langkahnya terhenti sejenak menatap sinis. Pandangannya tajam penuh makna. Lantas ia segera pergi meninggalkan mereka berdua. Ya, disana ada Bulan dan Fajar yang sedang duduk berdua di luar kantin. Kala itu kantin sangat sepi, bahkan hanya ada mereka berdua. Seketika kedatangan Lala laksana petir yang menggelegar, sontak mereka terdiam sejenak, lalu menyapa dengan sedikit senyuman yang mereka yakini itu hanyalah basa basi yang tak akan memberikan balasan. Benar saja, Lala melanjutkan langkahnya pergi dari kantin, tanpa kata, tanpa membalas senyuman.

        Kelima ujung jemari Fajar bergantian mengetuk meja. Matanya terpaku menatap gadis di depannya. Bulan hanya mencoba menoleh ke kiri dan kanan, ia tahu betul dalam tatapan itu ada pertanyaan. “Dia kenapa? Lihatnya gitu amat. Kayak ngga pernah lihat cowok makan sama cewek aja.” pertanyaan itu pun akhirnya terlontar. Diam. Bulan hanya membalas dengan gerakan bahu dan lagi-lagi senyumannya. Bagaimana mungkin, Fajar bisa melewatkan begitu saja senyuman manis itu dari ingatannya. Senyuman itu senantiasa menyisakan rasa tenang yang tak terhapus. Terus menerus seperti itu. Rasa itu berkumpul menjadi satu, rasa nyaman. Terus menerus seperti itu. Ada perasaan lain yang lebih besar dari sekedar nyaman, rasa cinta, rasa ingin memiliki.

***
[Ingatan]
“Kita akhwat, Lan. Kita setiap minggu liqo. Kita ngerti agama. Aku minta tolong jaga dirimu. Tak pantas anak rohis berdua-duaan dengan laki-laki…”
“Oke, anggaplah saat itu darurat. Malam sudah larut. Kamu takut pulang sendiri, lalu kamu ditawari pulang oleh laki-laki. Tak masalah. Tapi ingat, itu hanya keadaan darurat. Nggak sesering itu…”
“Jujur, kamu suka kan sama dia?”
       
        TENG!!! Hallo!!! Bulan tersadar dari lamunannya. Fajar tertawa kecil melihat tingkah Bulan yang terkejut. “Mikirin apa sih? Sampai ngelamun gitu. Ada masalah?” tanya Fajar sambil tersenyum menoleh ke arah kanan, membuka resleting tasnya, terdengar bunyi-bunyi seperti bungkusan plastik di dalamnya.  Lantas kembali melihat wajah Bulan. Bulan hanya tersipu malu. Diam.
“Yeee….dikacangin. Haha. Ada apa sih? Cerita lah.”
“E, eng, enggak kok. Haha.”
“Oh gitu nih. Rahasia-rahasiaan sekarang? Hmm…Oke.” Fajar memalingkan wajahnya ke samping, tingkahnya terlihat semakin maskulin.
“Eh, eh. Iya, iya. Aku cerita deh.” Ucap Bulan membuat Fajar kembali menatapnya. Kedua tangannya dilipat di atas meja makan, lantas mendekatkan badannya ke arah Bulan di depannya. Itu bukan pertama kalinya mereka sedekat itu. Mereka sudah sangat nyaman bercerita, segala hal. Bahkan hal privasi tentang keluarga dan kisah asmara sekalipun. Seringkali persoalan asmara merupakan cerita yang sangat panjang lebar dari Fajar. Wajar memang, Fajar sudah berpengalaman soal itu, dia sudah lebih dari empat kali berpacaran.
        Lain halnya dengan Bulan. Ia gadis dengan latar belakang keagamaan yang sangat kuat. Ia pernah menjadi aktivis di organisasi rohani kemuslimahan kampus. Jelas dia jarang didekati laki-laki karena mereka menghormati Bulan sebagai perempuan baik-baik. Sayang, belakangan Bulan sendiri yang meruntuhkan itu semua. Meniadakan batas-batas kehormatan. Semua bercampur, berpadu.
***

[Ingatan]
“Bagaimana mungkin sedekat itu masih dibilang tidak ada apa-apa?”
“Kamu tahu kan track record dia pacaran bagaimana? Dia bukan laki-laki yang baik buatmu…”
“Cinta sudah berhasil membutakanmu…”
 
        Bulan menundukkan pandangannya. Masih ada sedikit kekhawatiran baginya untuk membalas tatapan Fajar. Sesekali matanya melihat ke kiri, ke kanan dan ke bawah. Memang ini bukan pertama kali, tetapi tetap saja, ini masih belum terbiasa baginya. Bahkan pada awalnya, ia sangat khawatir ketika berada dalam suasana ini. Begitulah dosa, ia tak kan terasa lagi sebagai dosa ketika dilakukan berulang-ulang. Ia hanya terasa sebagai dosa bagi orang yang membatasi diri darinya. Akan tetapi bagi Fajar, suasana seperti ini merupakan hal yang sangat wajar. Keempat mantan pacar Fajar, semuanya perempuan berhijab. Karena hijab bagi mereka bukan dalam artian kata benda ‘batas’, juga bukan dalam artian kata kerja ‘membatasi’.
“Hmm… gini, menurut aku, sebaiknya mulai sekarang kita harus menjaga jarak.”
“Maksudnya?”
“Iya, sebaiknya kita nggak usah lagi dekat, apalagi sedekat ini, dan hanya berdua.”
“Sumpah, aku nggak ngerti maksud kamu apa. Apa ini ada hubungannya dengan Lala?”
“Hmm… ini demi kebaikan kita kok. Aku permisi ya, pulang duluan.” Bulan bergegas menyandang tasnya dan berdiri. Dengan cepat, tangan Fajar melesat menggenggam erat pergelangan tangan Bulan, “Tunggu dulu, ini nggak adil…”
“Astaghfirullah!” sontak mengagetkan Bulan, dengan refleks ia melepaskan genggaman itu, “Maaf ya, Jar, aku duluan.” Setengah berlari meninggalkan Fajar sendiri dalam kebingungan. Tak ada masalah, semua baik-baik saja. Sesaat itu juga semua berubah. Fajar terdiam dalam rasa penasaran. Alisnya sedikit mengkerut. Tatapannya hanya tertuju pada sebungkus plastik di dalam tasnya. Pertemuan itu menyisakan ribuan pertanyaan dalam benaknya.
***


Selanjutnya di Toska (2)

        Satu motor datang melaju dengan kencang dari arah tempat parkir. Motor tersebut lurus menuju halte bus. Lantas tepat berhenti di depannya sejenak…
… “Ngakunya anak rohis. Rapatnya sok-sok an pakai tirai. Dikasih jarak segala cowok dan cewek. Eh ternyata pacaran juga. Malah ngerebut pacar orang.”…
… Tiba-tiba seorang laki-laki datang memberikan sapu tangan berwarna toska. Ia benar-benar tidak merasakan pipinya yang putih kemerahan itu sudah basah. “Ambil. Masih baru kok. Ngga enak dilihat orang, cewek nangis sendirian.”…
Soon, Desember 2015
Biarkan pelangi menyatukan birunya langit dan hijaunya rerumputan
Lalu terjebak dalam bimbang, siapa yang benar-benar menentramkan jiwa

Tidak ada komentar :

Posting Komentar