Desember 2015
Tiada lagi batas antara biru dan hijau
Tiada lagi batas antara biru dan hijau
Laksana
bentangan langit dan hamparan padang rumput berpadu
[Ingatan]
“Bukan gimana-gimana
ya, untuk sekarang aku sama sekali nggak kepikiran… Eh, tapi aku nggak tahu
juga. Aku hanya takut termakan omonganku sendiri…”
Wajahnya langsung
berubah masam. Langkahnya terhenti sejenak menatap sinis. Pandangannya tajam
penuh makna. Lantas ia segera pergi meninggalkan mereka berdua. Ya, disana ada
Bulan dan Fajar yang sedang duduk berdua di luar kantin. Kala itu kantin sangat
sepi, bahkan hanya ada mereka berdua. Seketika kedatangan Lala laksana petir
yang menggelegar, sontak mereka terdiam sejenak, lalu menyapa dengan sedikit
senyuman yang mereka yakini itu hanyalah basa basi yang tak akan memberikan balasan.
Benar saja, Lala melanjutkan langkahnya pergi dari kantin, tanpa kata, tanpa membalas
senyuman.
***
“Kita
akhwat, Lan. Kita setiap minggu liqo. Kita ngerti agama. Aku minta tolong jaga
dirimu. Tak pantas anak rohis berdua-duaan dengan laki-laki…”
“Oke, anggaplah saat itu darurat. Malam sudah larut. Kamu takut pulang sendiri, lalu kamu ditawari pulang oleh laki-laki. Tak masalah. Tapi ingat, itu hanya keadaan darurat. Nggak sesering itu…”
“Jujur, kamu suka kan sama dia?”
“Oke, anggaplah saat itu darurat. Malam sudah larut. Kamu takut pulang sendiri, lalu kamu ditawari pulang oleh laki-laki. Tak masalah. Tapi ingat, itu hanya keadaan darurat. Nggak sesering itu…”
“Jujur, kamu suka kan sama dia?”
TENG!!! Hallo!!! Bulan
tersadar dari lamunannya. Fajar tertawa kecil melihat tingkah Bulan yang
terkejut. “Mikirin apa sih? Sampai ngelamun gitu. Ada masalah?” tanya Fajar
sambil tersenyum menoleh ke arah kanan, membuka resleting tasnya, terdengar
bunyi-bunyi seperti bungkusan plastik di dalamnya. Lantas kembali melihat wajah Bulan. Bulan
hanya tersipu malu. Diam.
“Yeee….dikacangin. Haha. Ada apa sih?
Cerita lah.”
“E, eng, enggak kok. Haha.”
“Oh gitu nih. Rahasia-rahasiaan
sekarang? Hmm…Oke.” Fajar memalingkan wajahnya ke samping, tingkahnya terlihat semakin
maskulin.
“Eh, eh. Iya, iya. Aku cerita deh.” Ucap
Bulan membuat Fajar kembali menatapnya. Kedua tangannya dilipat di atas meja
makan, lantas mendekatkan badannya ke arah Bulan di depannya. Itu bukan pertama
kalinya mereka sedekat itu. Mereka sudah sangat nyaman bercerita, segala hal.
Bahkan hal privasi tentang keluarga dan kisah asmara sekalipun. Seringkali
persoalan asmara merupakan cerita yang sangat panjang lebar dari Fajar. Wajar
memang, Fajar sudah berpengalaman soal itu, dia sudah lebih dari empat kali
berpacaran.
Lain halnya dengan
Bulan. Ia gadis dengan latar belakang keagamaan yang sangat kuat. Ia pernah
menjadi aktivis di organisasi rohani kemuslimahan kampus. Jelas dia jarang
didekati laki-laki karena mereka menghormati Bulan sebagai perempuan baik-baik.
Sayang, belakangan Bulan sendiri yang meruntuhkan itu semua. Meniadakan
batas-batas kehormatan. Semua bercampur, berpadu.
***
[Ingatan]
“Bagaimana
mungkin sedekat itu masih dibilang tidak ada apa-apa?”
“Kamu tahu kan track record dia pacaran bagaimana? Dia bukan laki-laki yang baik buatmu…”
“Cinta sudah berhasil membutakanmu…”
“Kamu tahu kan track record dia pacaran bagaimana? Dia bukan laki-laki yang baik buatmu…”
“Cinta sudah berhasil membutakanmu…”
Bulan
menundukkan pandangannya. Masih ada sedikit kekhawatiran baginya untuk membalas
tatapan Fajar. Sesekali matanya melihat ke kiri, ke kanan dan ke bawah. Memang
ini bukan pertama kali, tetapi tetap saja, ini masih belum terbiasa baginya. Bahkan
pada awalnya, ia sangat khawatir ketika berada dalam suasana ini. Begitulah
dosa, ia tak kan terasa lagi sebagai dosa ketika dilakukan berulang-ulang. Ia
hanya terasa sebagai dosa bagi orang yang membatasi diri darinya. Akan tetapi
bagi Fajar, suasana seperti ini merupakan hal yang sangat wajar. Keempat mantan
pacar Fajar, semuanya perempuan berhijab. Karena hijab bagi mereka bukan dalam
artian kata benda ‘batas’, juga bukan dalam artian kata kerja ‘membatasi’.
“Hmm… gini, menurut aku, sebaiknya mulai
sekarang kita harus menjaga jarak.”
“Maksudnya?”
“Iya, sebaiknya kita nggak usah lagi
dekat, apalagi sedekat ini, dan hanya berdua.”
“Sumpah, aku nggak ngerti maksud kamu
apa. Apa ini ada hubungannya dengan Lala?”
“Hmm… ini demi kebaikan kita kok. Aku
permisi ya, pulang duluan.” Bulan bergegas menyandang tasnya dan berdiri.
Dengan cepat, tangan Fajar melesat menggenggam erat pergelangan tangan Bulan,
“Tunggu dulu, ini nggak adil…”
“Astaghfirullah!” sontak mengagetkan
Bulan, dengan refleks ia melepaskan genggaman itu, “Maaf ya, Jar, aku duluan.”
Setengah berlari meninggalkan Fajar sendiri dalam kebingungan. Tak ada masalah,
semua baik-baik saja. Sesaat itu juga semua berubah. Fajar terdiam dalam rasa penasaran.
Alisnya sedikit mengkerut. Tatapannya hanya tertuju pada sebungkus plastik di
dalam tasnya. Pertemuan itu menyisakan ribuan pertanyaan dalam benaknya.
***
Selanjutnya
di
Toska (2)
Satu motor datang
melaju dengan kencang dari arah tempat parkir. Motor tersebut lurus menuju
halte bus. Lantas tepat berhenti di depannya sejenak…
… “Ngakunya anak rohis. Rapatnya sok-sok
an pakai tirai. Dikasih jarak segala cowok dan cewek. Eh ternyata pacaran juga.
Malah ngerebut pacar orang.”…
… Tiba-tiba seorang laki-laki datang
memberikan sapu tangan berwarna toska. Ia benar-benar tidak merasakan pipinya
yang putih kemerahan itu sudah basah. “Ambil. Masih baru kok. Ngga enak dilihat
orang, cewek nangis sendirian.”…
Soon, Desember 2015
Biarkan pelangi menyatukan birunya langit dan hijaunya rerumputan
Biarkan pelangi menyatukan birunya langit dan hijaunya rerumputan
Lalu terjebak dalam bimbang, siapa yang benar-benar menentramkan jiwa
Tidak ada komentar :
Posting Komentar