Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Toska (2)

Tentang ketidakpastian benarkah biru atau hijau yang terlihat
Dan tentang keraguan benarkah cinta atau hanya kekaguman yang tersimpan

Sebelumnya di Toska (1)
[… Wajahnya langsung berubah masam. Langkahnya terhenti sejenak menatap sinis. Seketika kedatangan Lala laksana petir yang menggelegar, sontak mereka terdiam sejenak …
“Kita akhwat, Lan. Kita setiap minggu liqo. Kita ngerti agama. Aku minta tolong jaga dirimu. Tak pantas anak rohis berdua-duaan dengan laki-laki…”…
… “Sebaiknya kita nggak usah lagi dekat, apalagi sedekat ini, dan hanya berdua.”
“Tunggu dulu, ini nggak adil…” Fajar terdiam dalam rasa penasaran. Alisnya sedikit mengkerut. Tatapannya hanya tertuju pada sebungkus plastik di dalam tasnya …]
***
Satu motor datang melaju dengan kencang dari arah tempat parkir. Motor tersebut lurus menuju halte bus. Lantas tepat berhenti di depannya sejenak. Laki-laki itu menurunkan kedua kakinya menahan motor yang berhenti. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Tak ada satu pun orang disana. Begitupun orang dari kejauhan, tak ada yang sedang berjalan menuju halte itu. Lantas ia menyalakan kembali motornya dan pergi.

Bulan masih saja bersembunyi di balik tiang besar, tak jauh dari halte bus. Ia tampak khawatir apakah dirinya terlihat dari halte bus. Seolah menghindari laki-laki itu. Dalam keadaan itu, tiba-tiba ada pesan masuk ke dalam telepon selulernya. Dari Neni :
‘Ngakunya anak rohis. Rapatnya sok-sok an pakai tirai, dikasih jarak segala cowok dan cewek. Eh ternyata pacaran juga. Malah ngerebut pacar orang.’

Matanya tetap terbuka tanpa berkedip. Kelopak matanya bergetar. Tangannya terlihat lemas menggenggam telepon seluler tersebut. Beberapa tetes air jatuh dari pelupuk mata tanpa disadari. Mengalir begitu saja. Seolah membenarkan ungkapan tetua bahwa mata adalah cerminan hati. Mata dengan jelas mengungkapkan isi hati. Mata tak pernah berbohong, senantiasa jujur mengisyaratkan kata di hati.

“Ini.” Tiba-tiba seorang laki-laki datang memberikan sapu tangan berwarna toska. Bulan terkejut. Ia heran mengapa tiba-tiba ada sapu tangan di depan wajahnya. Ia benar-benar tidak merasakan pipinya yang putih kemerahan itu sudah basah.

“Ambil. Masih baru kok. Ngga enak dilihat orang, cewek nangis sendirian.” Laki-laki itu memaksa. Ia mengira bulan tak akan mau mengambil sapu tangan tersebut jika itu adalah bekas. Namun bukan itu alasan sebenarnya. Bulan masih heran dengan pemberian sapu tangan tersebut. Lantas ia memegang daerah sekitar matanya. Ternyata ia sedang menangis.

“Oh…i, iya.” Bulan mengambil sapu tangan tersebut, “Makasih ya, Far.” Laki-laki itu hanya tersenyum tanpa sedikitpun melihat wajah Bulan. Dia kemudian terus berjalan menuju halte bus.

“Eh… Farhan. Ini sapu tangannya buat aku?” Bulan berbalik badan dan keluar dari balik tiang, melihat Farhan yang terus berjalan. Masih belum jauh, dan suara Bulan masih jelas terdengar hingga menghentikan langkah kakinya sejenak.

“Ambil saja. Saya masih punya banyak.” Farhan menghadapkan wajahnya ke arah kanan tanpa membalikkan badannya. Tatapannya pun lurus ke arah tersebut, padahal lawan bicaranya jelas-jelas ada di belakangnya. Lalu Farhan kembali menghadapkah wajahnya ke arah depan, meneruskan langkah kakinya, berjalan menuju halte bus.
***

            Pintu kamar terbuka. Terdengar jelas ada langkah kaki datang mendekat meskipun suara di kamar tersebut sangat berisik. Di kamar itu, semua asyik mendengarkan cerita Arini tentang sosok pria yang dikaguminya. Pria itu aktivis di organisasi rohani keagamaan. Wajahnya tampan. Gaya bicaranya yang sopan, tertata dan penuh wawasan semakin menambah nilai ketampanannya. Tak hanya itu, dia juga pandai bernyanyi sekaligus bermain gitar. Seringkali suaranya yang merdu terdengar mengalun-alun kala dia memimpin sholat berjamaah. Suaranya mampu membuat para akhwat salah fokus, sembari memanjatkan doa agar dia menjadi imam dalam hidup berumah tangga.

Sesekali Rosa menyalip cerita Arini dengan lawakan yang sangat menggelitik, sontak semua menjadi tertawa terbahak-bahak. Seolah tak mau kalah, Jasmin pun dengan logat bataknya dan bahasanya lucu menambah seru keakraban di kamar itu.
“Bulan!” Arini langsung menghentikan ceritanya melihat Bulan yang berjalan melewati kamar itu tanpa berhenti menyapa. Arini segera berdiri dan keluar kamar. Semua mata-mata di kamar itu langsung beralih fokus melihat ke arah luar.

“Bulan, masuk yuk! Lagi pada ngumpul nih, semua pada galau. Hahaha.” Panggilan Arini membuat Bulan berbalik badan. Lantas Arini memegang tangan Bulan dan menariknya masuk. Mereka berdua pun berjalan masuk ke dalam kamar.

“Kok udah pulang aja! Nggak jalan-jalan dulu sama Fajar! Kemana gitu kek!” Lala ketus. Pertanyaan itu jelas bukan untuk dijawab. Hanya sebuah sindiran tajam untuk Bulan. Seketika Lala berhasil membuat suasana berubah drastis. Tak ada lagi raut gembira dan keseruan bercengkrama. Semua saling menatap wajah-wajah yang tegang dan kaku. Diam.

“Hmm Bulan, memangnya kamu dari mana? Tadi pas aku jalan kesini, aku lihat dengan Fajar. Kayaknya dia nggak lihat aku. Mukanya serius banget. Kalian ada masalah?” Tanya Rosa. Pertanyaan ini jelas untuk dijawab. Pertanyaan itu pun dilontarkan dengan baik-baik. Bulan hanya tersenyum lemah.

“Ini.” Arini memberikan sebungkus plastik berisi boneka beruang berwarna putih dengan gambar love berwarna merah muda di perutnya.

“Ini apa, Rin?” Bulan terheran. Padahal hari ini bukanlah hari spesial. Biasanya mereka memberikan hadiah semacam itu pada saat ulang tahun saja.

“Dari Fajar. Tadi dia kesini. Menitipkan ini untukmu.” Arini berhenti sejenak menghela napas panjang, “Apa pun yang terjadi antara kamu dan Fajar, biar itu menjadi rahasia kamu saja. Kita sudah berkali-kali membahas soal ini.” Arini tersenyum sambil mengelus lengan Bulan.

“Aku dan Fajar ngga ada apa-apa kok. Beneran…”

“Alah! Bohong! Bahkan dia lebih nyaman bercerita tentang masalah keluarga sama Fajar, ketimbang sama kita yang dia bilang sahabat! Udahlah!” Lala dengan nada tinggi memotong kalimat Bulan. Tatapannya sinis. Matanya dengan cepat bergerak ke atas dan ke bawah melihat Bulan. Tak ada kenyamanan persahabatan tanpa kejujuran.

“Sudah, sudah.” Jasmin mencoba menenangkan suasana dengan dialek khasnya, “Oh iya, ayo lanjutkan cerita tentang imam idamanmu itu, Rin. Mumpung ada Bulan, dia kan belum tahu.”

“Nah iya, pas banget ada Bulan. Dia kan anak FISIP. Bulan pasti tahu, satu fakultas, sama-sama aktivis rohis juga.” Rosa menyambung kalimat Jasmin. Perlahan suasana mulai sedikit mencair.

“Nah iya, tahu nggak, Lan. Arini bahkan sampai tahu semua tentang si cowok itu. Warna kesukaannya pun tahu. Dia suka warna toska, persis kayak sapu tangan yang kamu pegang.” Lanjut Jasmin bersemangat. Bulan memang sedang memegang sapu tangan di tangan kanannya.

“Oh ya? Siapa namanya, Rin?” Bulan tampak mulai bersemangat. Rosa dan Jasmin berhasil membuatnya nyaman berada di kamar itu. Walau Lala masih tampak tak nyaman dengan kehadiran Arini.

“Hahaha. Jasmin dan Rosa ini terlalu berlebihan. Aku tu cuma kagum. Mudah-mudahan jodoh, tapi… kayaknya nggak mungkin. Dia se-perfect itu. Pasti banyak yang suka.” Arini tertunduk malu, namun terlihat jelas wajah penuh pengharapan.

“Jadi siapa namanya, Rin? Aku jadi penasaran.” Tangan kiri Bulan memegang tangan kanan Arini, lalu menggoyang-goyangkannya memaksa untuk menjawab.

“Namanya…Farhan. Nama panjangnya Farhan Mubasyir.” Jawab Arini yang masih tersipu malu. Tangan kanan Bulan melemah. Pegangannya merenggang. Sebaliknya, tangan kirinya erat menggenggam sapu tangan toska itu. Menggenggam kuat seolah tak ingin lepas. Tercengang.
***

Selanjutnya di Toska (3)
Soon


Soon

Tidak ada komentar :

Posting Komentar