Tentang
ketidakpastian benarkah biru atau hijau yang terlihat
Dan
tentang keraguan benarkah cinta atau hanya kekaguman yang tersimpan
Sebelumnya di
Toska (1)
[… Wajahnya langsung berubah masam.
Langkahnya terhenti sejenak menatap sinis. Seketika kedatangan Lala laksana
petir yang menggelegar, sontak mereka terdiam sejenak …
… “Kita
akhwat, Lan. Kita setiap minggu liqo. Kita ngerti agama. Aku minta tolong jaga
dirimu. Tak pantas anak rohis berdua-duaan dengan laki-laki…”…
… “Sebaiknya kita nggak usah lagi dekat,
apalagi sedekat ini, dan hanya berdua.”
“Tunggu dulu, ini nggak adil…” Fajar
terdiam dalam rasa penasaran. Alisnya sedikit mengkerut. Tatapannya hanya
tertuju pada sebungkus plastik di dalam tasnya …]
***
Satu motor datang
melaju dengan kencang dari arah tempat parkir. Motor tersebut lurus menuju
halte bus. Lantas tepat berhenti di depannya sejenak. Laki-laki itu menurunkan
kedua kakinya menahan motor yang berhenti. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Tak
ada satu pun orang disana. Begitupun orang dari kejauhan, tak ada yang sedang
berjalan menuju halte itu. Lantas ia menyalakan kembali motornya dan pergi.
Bulan masih saja
bersembunyi di balik tiang besar, tak jauh dari halte bus. Ia tampak khawatir
apakah dirinya terlihat dari halte bus. Seolah menghindari laki-laki itu. Dalam
keadaan itu, tiba-tiba ada pesan masuk ke dalam telepon selulernya. Dari Neni :
‘Ngakunya anak rohis. Rapatnya sok-sok
an pakai tirai, dikasih jarak segala cowok dan cewek. Eh ternyata pacaran juga.
Malah ngerebut pacar orang.’
Matanya tetap terbuka
tanpa berkedip. Kelopak matanya bergetar. Tangannya terlihat lemas menggenggam
telepon seluler tersebut. Beberapa tetes air jatuh dari pelupuk mata tanpa
disadari. Mengalir begitu saja. Seolah membenarkan ungkapan tetua bahwa mata
adalah cerminan hati. Mata dengan jelas mengungkapkan isi hati. Mata tak pernah
berbohong, senantiasa jujur mengisyaratkan kata di hati.
“Ini.” Tiba-tiba seorang laki-laki
datang memberikan sapu tangan berwarna toska. Bulan terkejut. Ia heran mengapa
tiba-tiba ada sapu tangan di depan wajahnya. Ia benar-benar tidak merasakan
pipinya yang putih kemerahan itu sudah basah.
“Ambil. Masih baru kok. Ngga enak
dilihat orang, cewek nangis sendirian.” Laki-laki itu memaksa. Ia mengira bulan
tak akan mau mengambil sapu tangan tersebut jika itu adalah bekas. Namun bukan
itu alasan sebenarnya. Bulan masih heran dengan pemberian sapu tangan tersebut.
Lantas ia memegang daerah sekitar matanya. Ternyata ia sedang menangis.
“Oh…i, iya.” Bulan mengambil sapu tangan
tersebut, “Makasih ya, Far.” Laki-laki itu hanya tersenyum tanpa sedikitpun
melihat wajah Bulan. Dia kemudian terus berjalan menuju halte bus.
“Eh… Farhan. Ini sapu tangannya buat aku?”
Bulan berbalik badan dan keluar dari balik tiang, melihat Farhan yang terus
berjalan. Masih belum jauh, dan suara Bulan masih jelas terdengar hingga
menghentikan langkah kakinya sejenak.
“Ambil saja. Saya masih punya banyak.”
Farhan menghadapkan wajahnya ke arah kanan tanpa membalikkan badannya.
Tatapannya pun lurus ke arah tersebut, padahal lawan bicaranya jelas-jelas ada
di belakangnya. Lalu Farhan kembali menghadapkah wajahnya ke arah depan, meneruskan
langkah kakinya, berjalan menuju halte bus.
***
Pintu
kamar terbuka. Terdengar jelas ada langkah kaki datang mendekat meskipun suara
di kamar tersebut sangat berisik. Di kamar itu, semua asyik mendengarkan cerita
Arini tentang sosok pria yang dikaguminya. Pria itu aktivis di organisasi
rohani keagamaan. Wajahnya tampan. Gaya bicaranya yang sopan, tertata dan penuh
wawasan semakin menambah nilai ketampanannya. Tak hanya itu, dia juga pandai
bernyanyi sekaligus bermain gitar. Seringkali suaranya yang merdu terdengar
mengalun-alun kala dia memimpin sholat berjamaah. Suaranya mampu membuat para
akhwat salah fokus, sembari memanjatkan doa agar dia menjadi imam dalam hidup
berumah tangga.
Sesekali Rosa menyalip
cerita Arini dengan lawakan yang sangat menggelitik, sontak semua menjadi
tertawa terbahak-bahak. Seolah tak mau kalah, Jasmin pun dengan logat bataknya dan bahasanya lucu menambah seru keakraban di kamar itu.
“Bulan!” Arini langsung menghentikan
ceritanya melihat Bulan yang berjalan melewati kamar itu tanpa berhenti
menyapa. Arini segera berdiri dan keluar kamar. Semua mata-mata di kamar itu
langsung beralih fokus melihat ke arah luar.
“Bulan, masuk yuk! Lagi pada ngumpul nih,
semua pada galau. Hahaha.” Panggilan Arini membuat Bulan berbalik badan. Lantas
Arini memegang tangan Bulan dan menariknya masuk. Mereka berdua pun berjalan
masuk ke dalam kamar.
“Kok udah pulang aja! Nggak jalan-jalan
dulu sama Fajar! Kemana gitu kek!” Lala ketus. Pertanyaan itu jelas bukan untuk
dijawab. Hanya sebuah sindiran tajam untuk Bulan. Seketika Lala berhasil
membuat suasana berubah drastis. Tak ada lagi raut gembira dan keseruan
bercengkrama. Semua saling menatap wajah-wajah yang tegang dan kaku. Diam.
“Hmm Bulan, memangnya kamu dari mana?
Tadi pas aku jalan kesini, aku lihat dengan Fajar. Kayaknya dia nggak lihat
aku. Mukanya serius banget. Kalian ada masalah?” Tanya Rosa. Pertanyaan ini
jelas untuk dijawab. Pertanyaan itu pun dilontarkan dengan baik-baik. Bulan
hanya tersenyum lemah.
“Ini.” Arini memberikan sebungkus
plastik berisi boneka beruang berwarna putih dengan gambar love berwarna merah
muda di perutnya.
“Ini apa, Rin?” Bulan terheran. Padahal
hari ini bukanlah hari spesial. Biasanya mereka memberikan hadiah semacam itu
pada saat ulang tahun saja.
“Dari Fajar. Tadi dia kesini. Menitipkan
ini untukmu.” Arini berhenti sejenak menghela napas panjang, “Apa pun yang
terjadi antara kamu dan Fajar, biar itu menjadi rahasia kamu saja. Kita sudah
berkali-kali membahas soal ini.” Arini tersenyum sambil mengelus lengan Bulan.
“Aku dan Fajar ngga ada apa-apa kok. Beneran…”
“Alah! Bohong! Bahkan dia lebih nyaman
bercerita tentang masalah keluarga sama Fajar, ketimbang sama kita yang dia
bilang sahabat! Udahlah!” Lala dengan nada tinggi memotong kalimat Bulan.
Tatapannya sinis. Matanya dengan cepat bergerak ke atas dan ke bawah melihat
Bulan. Tak ada kenyamanan persahabatan tanpa kejujuran.
“Sudah, sudah.” Jasmin mencoba
menenangkan suasana dengan dialek khasnya, “Oh iya, ayo lanjutkan cerita
tentang imam idamanmu itu, Rin. Mumpung ada Bulan, dia kan belum tahu.”
“Nah iya, pas banget ada Bulan. Dia kan
anak FISIP. Bulan pasti tahu, satu fakultas, sama-sama aktivis rohis juga.”
Rosa menyambung kalimat Jasmin. Perlahan suasana mulai sedikit mencair.
“Nah iya, tahu nggak, Lan. Arini bahkan
sampai tahu semua tentang si cowok itu. Warna kesukaannya pun tahu. Dia suka
warna toska, persis kayak sapu tangan yang kamu pegang.” Lanjut Jasmin
bersemangat. Bulan memang sedang memegang sapu tangan di tangan kanannya.
“Oh ya? Siapa namanya, Rin?” Bulan
tampak mulai bersemangat. Rosa dan Jasmin berhasil membuatnya nyaman berada di
kamar itu. Walau Lala masih tampak tak nyaman dengan kehadiran Arini.
“Hahaha. Jasmin dan Rosa ini terlalu
berlebihan. Aku tu cuma kagum. Mudah-mudahan jodoh, tapi… kayaknya nggak
mungkin. Dia se-perfect itu. Pasti banyak yang suka.” Arini tertunduk malu,
namun terlihat jelas wajah penuh pengharapan.
“Jadi siapa namanya, Rin? Aku jadi
penasaran.” Tangan kiri Bulan memegang tangan kanan Arini, lalu
menggoyang-goyangkannya memaksa untuk menjawab.
“Namanya…Farhan. Nama panjangnya Farhan
Mubasyir.” Jawab Arini yang masih tersipu malu. Tangan kanan Bulan melemah. Pegangannya
merenggang. Sebaliknya, tangan kirinya erat menggenggam sapu tangan toska itu.
Menggenggam kuat seolah tak ingin lepas. Tercengang.
***
Selanjutnya
di
Toska (3)
Soon
Soon
Tidak ada komentar :
Posting Komentar