Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Kelam (2)

Desember 2015
Tetapi saat ini semuanya berubah
Tetap akan kelam meski kau bawakan matahari
Sebelumnya di Kelam (1)
[… Sekitar dua tahun yang lalu… Aku berdoa… Aku tidak butuh dia seorang yang gagah, tampan atau rupawan. Aku hanya realistis saja, yang terpenting dia bisa menafkahi lahir dan bathin …
… Aku langsung terkejut bukan main. Ketika mataku terbuka, Mas Dimas sudah duduk di sampingku …
… “Tika, maafkan aku, aku mohon maafkan aku… Aku sangat mencintaimu, tapi rasa itu tak mampu mengalahkan hormat dan cintaku pada ibuku… Ini pertemuan terakhir kita. Aku harap kita saling melupakan satu sama lain.” …]
***

Semenjak itu, silih berganti laki-laki dikenalkan padaku. Bahkan ada yang lebih kaya dari Mas Dimas. Bukankah itu yang aku dambakan? Suatu realita kehidupan berumah tangga. Lagi-lagi terpikirkan akan hal itu. Manusia butuh hidup yang layak, pun manusia dalam rumah tangga. Tak akan mungkin hanya hidup dengan cinta dan rasa ikhlas menerima satu sama lain. Tak akan mungkin hidup hanya dengan memandang kecantikan dan ketampanan. Jelas-jelas harta tak bisa dinomorduakan. Harta akan selalu setara dengan apapun yang dinomorsatukan. Ya, itulah realita kehidupan.

Namun semenjak itu, aku bahkan sudah lupa bagaimana caranya untuk mencinta. Tak tahu lagi seperti apa rasanya jatuh cinta. Peristiwa itu sungguh hebat. Hingga saat ini aku masih saja sering tertawa mengingatnya. Peristiwa itu berhasil memukulku jauh ke lambung bumi. Hari demi hari yang dijalani hanyalah lelah. Tak ada semangat lagi. Betul kata orang, kesakitan jauh lebih mudah untuk dikenang dibandingkan kebahagiaan. Betapa sakitnya ketika harapan yang sudah jauh terbang tinggi lantas hilang begitu saja terhapus awan. Seolah yakin sekali, dia jodohku, dia yang akan menemaniku hingga akhir hayat, dia yang akan menjadi imam dalam keluargaku, maka sempurnalah hidupku.

Dan semenjak itu, empat tahun sudah terlewati dengan sangat berat. Usia yang sudah melewati kepala tiga. Aku sudah pasrah, tak ada pendamping pun rasanya tak apa, tak masalah. Berkali-kali semua orang mengingatkanku ‘perawan tua’. Entah itu peringatan untuk memotivasi aku menikah atau memang sebutan yang pantas bagiku selamanya.

Aku masih disini, duduk di rerumputan menikmati pemandangan yang indah ini. Di atas bukit memandang panorama kota dari ketinggian. Tampak jelas laut membentang luas dengan kapal-kapal yang berlayar dan berlabuh. Meski hati ini tak tahu sampai kapan berlayar, mungkin akan tenggelam saja di tengah-tengah samudera yang dalam, biar tak ada yang menemukan sampai waktu bumi berputar telah habis dan semuanya berakhir.

Sesekali aku melihat kembali telepon selular yang ada dalam genggaman ini. Entah kenapa, rasanya aku berharap datang kabar pembatalan janji. Ya, saat ini aku sedang menunggu seorang lelaki tak dikenal.  Nomor HP ini sepertinya sudah disebar ke seluruh relasi. Aku bahkan sudah tak ingat lagi berapa pastinya laki-laki yang telah berkenalan denganku. Tak ada satu pun yang seperti Mas Dimas. Ya, dan memang tak akan mungkin ada orang yang sama di dunia ini jika dibanding-bandingkan.

KRING!! Aku terkejut. Ada panggilan masuk
“Hey gimana? Orangnya sudah ketemu? Gimana orangnya?” Ternyata telepon dari Susi. Ya, lagi-lagi dia jadi orang paling bawel dalam urusan ini. Dia sangat ingin aku menikah segera. Ketika janji persahabatan itu, dia akan membawa calon suaminya, aku pun begitu. Namun tak ada satu orang pun yang tahu pasti tentang masa depan. Dia hanya mendapatiku tergeletak pingsan di meja makan restoran itu. Aku harus mengikhlaskan dia untuk menikah tanpa menunggu waktuku yang tak pasti.

“Orangnya belum datang, cantik. Aku aja yang datengnya terlalu. Emang sengaja mau menikmati indahnya pemandangan dulu.”

“Yah…pokoknya kalau udah ketemu orangnya kabari aku ya. Penasaran deh itu siapa. Masa namanya cuma ‘Win’. Pendek banget. Mungkin orangnya juga pendek kali ya. Atau itunya yang pendek. Hahaha.”

“HEH!!! Mulai deh, aku belum kawin, belum tahu apa-apa.”

“Maksudnya itu rambutnya yang pendek, kayak tentara mungkin. Hahaha.” Itu kalimat terakhir yang terdengar dari Susi. HP itu hampir saja terhempas ke tanah. Tanganku mendadak tak bertenaga menggenggamnya. Masih sama seperti empat tahun yang lalu, ia datang memberi kejutan tiba-tiba.
***
            Tangannya diulurkan dengan maksud menjabat. Aku hanya diam terpaku. Tangan ini sudah lemas. Kedatangannya laksana memaksakan jarum jam untuk berbalik arah, mencoba mengembalikan ke masa itu. Namun sayang, yang ada hanya kan membuatnya patah dan rusak.

“Win.” Kata pertama terucap dari bibirnya. Tangannya masih bertahan seperti posisi ingin menjabat, “Winoto.” Kata kedua terucap lagi dengan posisi badan yang sama, “Dimas Winoto.” Dua kata itu cukup membuatku sadar dan langsung berdiri.

“Lucu sekali. Makasih ya.” Kalimat itu aku rasa cukup untuk menjadi salam perpisahan. Segera aku mencoba pergi.

Cukup selangkah saja baginya untuk dapat meraih tanganku. Dia menahanku. “Tika, aku ingin bicara sebentar. Sebentar saja, aku mohon. Berkali-kali aku menelepon tak pernah kamu angkat. Aku sms tak pernah kamu balas. Aku whatsapp, aku bbm, aku line, semuanya hanya kamu read. Maaf, kalau saat ini aku harus bohong.” Dia memaksaku untuk tetap berdiri disana. Aku tak mau, orang sekitar memperhatikanku berlebihan. Karena aku ke tempat ini bukan sekali dua kali saja. Sudah berkali-kali aku kesini semenjak peristiwa itu. Beberapa pedagang sudah kenal baik denganku.

“Baik. Berceritalah. Berceritalah.” Aku harus kuat, aku harus tegar, apapun yang dia katakana nantinya.

“Tika, ibuku menyuruhku menceraikan istriku. Dia bukanlah wanita yang baik. Memang dia adalah anak dari sahabat karib ibuku. Mereka sudah saling berjanji akan menjodohkan kami berdua. Namun ternyata dia sungguh berbeda dengan apa yang diceritakan oleh ibunya.” Ia terhenti sejenak. Menghela napas panjang sebagai jeda. Mungkin cukup lelah memberikan penjelasan panjang lebar itu. Aku hanya diam.

“Memang kami serba berkecukupan.” Nadanya mulai menurun, wajahnya tertunduk, “Tapi kami sesungguhnya serba kekurangan. Kurang kebahagiaan. Hampir setiap hari kami selalu ribut. Ibuku kasihan melihat rumah tangga ini. Dia menyesal memaksaku menikah dengan orang yang tidak aku kenal.”
***
            Aku masih diam. Sesuai yang dia inginkan, dia yang bicara, bukan aku. Lantas dia berjalan ke hadapanku dan berdiri tepat di depan wajahku. Dia menatap mataku. Gemetar rasanya sekujur tubuh ini. Hanya hati yang sanggup berbicara ‘Tuhan, peristiwa macam apa lagi ini?’ Aku tahu pasti arah pembicaraan ini.

Tuhan memang Maha Mendengar, seolah langsung menguatkan bibir ini untuk berucap. Memberikan jawaban atas arah pembicaraan ini, “Maaf ya, Mas Win. Aku sebenarnya sudah punya calon suami yang jauh lebih kaya. Dan jauh lebih segala-galanya dibandingkan Anda. Dia pilihan Ibuku. Sama kan dengan Anda?” Jawabku pelan-pelan berusaha menutupi kebohongan.

“Aku mau janjian dengan Anda, hanya karena penasaran saja.” Aku mencoba tersenyum walau sulit. “Sebentar lagi kami akan menikah. Tetapi sekali lagi maaf ya Mas Win, saya tidak bisa mengundang Anda. Khawatir Anda membuat ribut, seperti hari-hari Anda di rumah tangga.”

Aku berjalan menjauhinya dua tiga langkah dan terhenti, “Oh iya, satu lagi, Ini pertemuan terakhir kita ya, Mas Win. Dan kita harus melupakan satu sama lain.”

Aku melihat jelas raut wajah kekecewaan yang besar. Itulah yang disebut konsekuensi. Apabila berani menyakiti orang, maka sudah sepantasnya harus berani untuk disakiti. Walau sebenarnya aku juga ikut tersakiti. Tapi tak apa. Rasanya sudah kebal. Sakit itu hanya terasa saat pertama, seterusnya biasa-biasa saja. Lantas aku terus berjalan dengan santai meninggalkan dia. Dia yang tertunduk dalam kesedihan, merasakan kelam yang dulu pernah kurasa.  
***

"Mungkin memang kucinta, Mungkin memang kusesali
Pernah tak hiraukan rasamu dulu
Aku hanya ingkari kata hatiku saja
Tapi mengapa kini cinta datang terlambat"

_MA_

Tidak ada komentar :

Posting Komentar