Desember 2015
Untukmu
sahabat, yang terus mencari lentera di gelapnya malam
Sementara
di dalam rumahmu, lentera bersinar terang benderang
Hingga
saatnya tiba, ia ‘kan padam tanpa terduga
Di sana hening, hanya
terdengar suara tetes demi tetes cairan infus yang turun dari wadahnya
perlahan lalu mengalir melewati selang. Tangan kanannya dilipat dan direbahkan di atas pinggiran kasur itu. Pipi
kanannya bertumpu di atas punggung tangan kanan tersebut. Sementara tangan
kirinya sibuk mengelus lembut tangan Papa yang sedang berbaring. Matanya sayu-sayu,
setengah terbuka. Tatapannya kosong, tak jelas memandang benda apa. Hingga mata
itu terpejam.
***
Jam
menunjukkan pukul 23.00. Tiba-tiba terdengar suara mengetuk pintu. Dengan
rambut yang agak kusut dan muka yang mengantuk, Mama segera keluar kamar,
bergegas membukakan pintu, “Hai. Sudah pulang sayang?”.
“Makan dulu, yuk. Kebetulan mama belikan
sate kambing kesukaan kamu. Mama sama papa belum makan juga. Sengaja nungguin
kamu.” Mama menutup pintu dan menguncinya. Sesekali tangannya mengusap wajah
yang mengantuk dan merapikan rambut yang kusut. Ardi terus berjalan menuju
kamarnya. Tanpa membalas ajakan mama atau sekedar menoleh sedikitpun.
“Ardi, yuk makan malam dulu, sayang.”
Mama setengah berteriak. Hanya hentakan pintu kamar yang terdengar.
“Kenapa lagi anak itu? Nggak disuruh
nyari duit kok, cuma disuruh makan aja susah banget.” Papa keluar dari kamar
mendengar suara hentakan pintu, “Ardi, ayo dong makan dulu. Mama papa sengaja
nungguin kamu.”. Tak ada jawaban. Diam, terus berharap Ardi mau keluar kamar.
“Ardi!” Nada Papa mulai tinggi, “Ardi!”
“Aku udah makan tadi di luar. Makan aja.
Aku ngantuk, mau tidur.” Jawabnya dari dalam kamar.
“Ya sudah, Pa.” ucap Mama dengan nada
lembut sambil memegang tangan Papa dan duduk di sebelahnya, “Ayo kita makan.” Sate
kambing dan hidangan lainnya sudah siap tersaji dikelilingi oleh tiga piring yang
masih tertelungkup. Tinggal membalikkan piring, kemudian menyendokkan nasi
dan lauk ke atasnya. Akan tetapi satu piring tetap dibiarkan tertelungkup.
***
Jam
menunjukkan pukul 01.00. Suara telepon terdengar jelas dari dalam kamar Ardi,
“Iya, sayang. Jangankan pesta ulang tahun Riska, kemana pun kamu mau pasti aku
anterin. Hahaha.” --- “Nggak gombal, itu serius.” --- “Ngomong-ngomong, makasih
ya sayang, untuk hari ini. Aku senang banget kita bisa jalan-jalan berdua.” ---
“Syukurlah kalau kamu juga senang.” --- “Hahaha. Kamu tuh yang lahap banget
makannya pas tadi aku suapin.” --- “Oke, sabtu sama minggu akan aku kosongin waktu,
spesial buat kamu.” --- “Iya, kamu istirahat juga ya. Jaga kesehatan.” ---
“Love you too.”
“Mama belum tidur?”
Papa datang menghampiri mama yang sendiri duduk di ruang makan. Meja makan telah
bersih. Sate kambing habis, sementara hidangan lain yang belum habis telah
disimpan di dalam lemari. Piring-piring kotor telah diletakkan di wastafel
dapur. Satu piring bersih dikembalikan ke tempatnya semula. Mama hanya terpaku
melihat album foto di atas meja makan. Selembar demi selembar foto dilihat
dengan jelas. Di setiap foto, tersimpan ceritanya sendiri. Sedikit tersenyum,
namun lebih banyak menampakkan rona kesedihan.
“Ini waktu kita jalan-jalan ke pantai
malin kundang kan ya, Pa? Mama ingat betul disini kita makan jagung bakar dan
rempeyek udang.”
“Iya, Ma. Disana kita bertiga bikin
istana dari pasir. Ardi senang sekali mencari batu karang untuk hiasan istana.”
Tangan Papa merangkul bahu Mama. Mereka berdua mengenang masa-masa dahulu
hingga 5 tahun silam, ketika Ardi masih balita hingga kelas 6 SD.
“Apakah benar kata orang itu, Pa, kalau
anak itu nggak akan jadi milik kita selamanya?” punggung jari telunjuk Mama
mengusap foto Ardi.
“Papa dengar tadi, Mama harap kata-kata
sayang itu bisa diucapkan untuk Mama. Mama harap kata-kata love you itu bisa
diucapkan untuk Mama, Pa.” Setetes air mata jatuh dengan sendirinya.
“Ma, jangan terlalu dipikirin. Dia masih
labil, Ma. Maklumi saja lah. Masih remaja. Wajar saja mulai suka dengan lawan
jenisnya. Itu wajar.” Papa terus mendekap Mama, mengusap-usap lengannya,
mencoba menenangkannya, “Ma, jangan nangis. Sudahlah. Nanti asma Mama kambuh.
Sudahlah, Ma. Maklumi saja.”
Mama
mulai terisak-isak menahan air mata, namun tak bisa. Sudah cukup lama terpendam
kesedihan ini. Sudah lama sekali menyimpan kerinduan akan keluarga kecil yang
harmonis, yang dulu pernah ada. Bocah kecil itu diantarkan ke sekolah, lalu
dijemput lagi untuk pulang ke rumah. Semua perlahan berubah ketika Ardi duduk
di bangku SMP. Sekali dua kali meminta izin pulang terlambat. Lalu terus
menerus menjadi hal yang wajar dan biasa. Pergaulan tak terbatasi. Seolah
menemukan kebahagiaan dengan teman-temannya melebihi kebahagiaan bersama kedua
orangtua yang tulus ikhlas mencintainya.
“Ma, mama!” isak tangis Mama mulai
berubah. Napasnya pendek dan cepat. Bahunya naik seperti berusaha menghirup
udara sebanyak-banyaknya. “Ma, mama!!!” teriakan Papa semakin keras dan semakin
keras, “Ma!! Mama!!!!!”
***
Matanya perlahan terbuka,
ia masih sangat lemas. Ingin sekali berkata-kata namun masih sulit, “Mm..ma…”.
Mama meletakkan jari telunjuk tepat di bibirnya, sebagai isyarat sebaiknya diam
saja. Mama mendekatkan bibirnya ke telinga Papa yang baru sadarkan diri itu,
lalu berbisik, “Gula sama kolesterol papa tinggi banget. Pas asma Mama kambuh,
Papa malah pingsan. Untung Ardi belum tidur. Dia yang membawa kita ke Rumah
Sakit. Sekarang biar Ardi tidur dulu. Kasihan dia semalam belum tidur.”
“Ma, Pa, I love you,
Aku sayang kalian. Tolong jangan tinggalin aku sendirian. Aku sayang kalian.”
Suara berat keluar dari bibir Ardi yang sedikit terbuka. Dia masih tertidur
pulas. Dia tampak sangat kelelahan. Mama dan Papa hanya tersenyum melihat Ardi,
sesekali mereka saling bertatapan, sambil menghela napas panjang, dan berkata dalam hati, 'Anakku, lentera jiwaku.'
***
"Tak ada yang tahu seberapa dalam rasa cinta orangtua untuk anaknya,
Termasuk orangtua itu sendiri
Keinginan terbesar dari hati orangtua,
Hanyalah kebahagiaan dan keselamatan untuk anaknya"
_Through Smiles, Through Tears_
Tidak ada komentar :
Posting Komentar