Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Polaritas Manusia

 
        Manusia itu unik. Tak ada ilmu yang mampu mengeneralisasikan manusia. Setiap individu itu berbeda. Baik buruknya manusia tergantung dari sisi mana kita memandangnya. Laksana sehelai daun yang dilihat dari satu sisi, licin mengkilap dengan warna hijau segar. Namun ketika dibalik, ada sisi kasar berbulu dengan warna hijau kusam. Pun laksana seseorang yang berdiri menantang matahari senja. Dari sisi depan, wajahnya terlihat jelas bercahaya, namun dari sisi belakang, yang ada hanyalah hitam kelam. Lebih kompleks lagi dari itu, manusia laksana kristal dengan banyak sisi, tak semua sisinya berkilau, tergantung dari sisi mana melihatnya. Sesungguhnya ia jernih, bening tak berwarna. Namun lingkungan lah yang memberikan warna kristal itu.
 
        Saya teringat suatu ketika : 
Siswa : Kak, saya tu bodoh banget deh. Saya ngga ngerti sama sekali kimia. Susah banget.
Saya : (tersenyum) Ya sudah, coba mana yang susah menurut kamu?

Siswa : (membuka bab awal yang dia katakan sulit itu)
Saya : (perlahan membuka) Kamu pernah nggak makan nasi pakai sambel?
Siswa : Pernah
Saya : Kalau seandainya habis makan sambel, kamu hanya cuci pakai air saja tanpa sabun, berani nggak ngucek mata?
Siswa : Nggak lah kak. Perih pasti.
Saya : Kalau pakai sabun berani?
Siswa : Berani
Saya : Nah! Itu yang namanya polaritas. Itu namanya like dissolve like. Kalau kamu perhatikan, dua orang bisa saling jatuh cinta itu karna ada kemiripan. Kemiripan itu lah membuat mereka nyaman bersama-sama. Tapi bukan berarti ngga berbeda sama sekali, bukan. Tentu yang namanya manusia ada perbedaannya, tapi itu tidak signifikan dibandingkan kemiripan mereka.
Siswa : (mencoba mencerna)
Saya : Begitu juga senyawa. Senyawa polar itu hanya akan tarik menarik dengan senyawa polar saja. Senyawa non polar hanya tarik menarik dengan senyawa non polar saja. Minyak itu non polar, air itu polar dengan struktur kimia yang jauh berbeda, sehingga tidak akan mungkin bersatu. Dalam sambel itu ada senyawa yang membuat rasa panas namanya capsaicin, dia bersifat non polar, makanya dia nggak bisa dicuci dengan air saja. Lalu bagaimana dengan sabun? Dia strukturnya unik. Ada sifat non polar dan sifat polar sekaligus. Dia bisa menarik capsaicin yang non polar sekaligus menarik air yang polar. Makanya kamu bisa berani ngucek mata, karena capsaicin itu sudah lepas dari tanganmu dibawa oleh sabun, dan sabun dibawa oleh air.
Siswa : Oh..jadi itu maksudnya. Kok guru saya di sekolah nggak pernah ngomong begini ya?
 
        Banyak pelajaran yang bisa dimaknai dalam percakapan di atas. Pertama, manusia terlalu dini dalam men-judge anything, everything. Saya terkadang tertawa melihat orang dengan lantang mengatakan saya bodoh, saya tidak bisa ini, saya tidak bisa itu. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu sementara dia tahu bahwa dia lahir tak bisa apa-apa. Lalu? Apakah seumur hidup tak bisa apa-apa?  Kau tahu kawan, sabun itu terbuat dari bahan awal lemak, yang sama dengan minyak, tak bisa menyatu dengan air. Lalu? Bagaimana bisa dia berubah menjadi sabun yang dapat bersatu dengan air? Itu lah yang dinamakan proses. Manusia hidup dengan proses pembelajaran. Semua bisa terjadi, semua bisa berubah, tak ada yang tak mungkin. Oh come on, manusia itu fleksibel, bukanlah sepotong kayu yang kaku, yang apabila dibengkokkan hanya akan membuatnya patah. Seolah tak mengenal diri sendiri hingga menjadi tak percaya diri.
 
        Bahkan dia yang tak mengenal dirinya sendiri, dengan lantang dan berani men-judge orang lain. Mengatakan orang ini buruk, orang itu baik, orang ini keras, orang itu lemah. Bagaimana bisa dia benar menilai orang lain, sedangkan dia tidak bisa menilai dirinya sendiri. Saya juga sering tertawa ketika memperhatikan dan mempelajari manusia di sekitar saya. Setiap orang hidup dengan privasinya masing-masing. Orang-orang mengenalnya wanita lemah, gaya bicaranya halus lembut dan perlahan, setiap saat orang menekannya, wajahnya lugu. Lalu? Ternyata dia orang yang jauh lebih kuat dan tangguh. Ada pula seorang laki-laki yang gaya bicaranya ceplas-ceplos, suka bercanda dengan mencaci maki orang, membuat dirinya terlihat keras dan kasar. Lalu? Ternyata dia sangat sensitif, sangat bergantung dengan orang, sangat membutuhkan teman cerita, ia hanya berusaha mengusir sepi dalam jiwa, ia hanya berusaha membuat orang tak mengasihaninya. Banyak hal tersembunyi di balik tirai. Bahkan dalam tirai itu ada tirai lagi yang lebih tebal. Tak mudah untuk membukanya, karena manusia tercipta dengan dunianya masing-masing. Cara mengenal mereka hanya dengan menjadi manusia lain yang bisa masuk ke dalam dunia tersebut, like dissolve like, ini pelajaran kedua.
 
        Ketiga, tentang traumatik. Dalam kasus tersebut adalah tentang tangan bekas sambel. Dengan sistem yang otomatis, ia akan mencegah tangan tersebut memegang kulit lainnya, termasuk mata, karena hampir setiap orang pernah mengalami rasa panas karena disentuh tangan tersebut. Dan memang begitulah faktanya. Manusia itu mudah sekali mengalami trauma. Ketika dia pernah mengalami sesuatu hal yang buruk, dia akan terus menerus membentengi diri. Walaupun hal buruk itu baru sekali terjadi. Termasuk dalam hubungan. Kesalahan orang lain yang hanya sekali mampu menutupi kebaikan orang yang banyak. Kemudian mereka akan terus menjalankan sistem otomatis tersebut untuk menjaga jarak dalam berhubungan. Ini lah yang menjadi inspirasi terbentuknya cerpen Trauma. Karena rasa sakit itu lebih mudah diingat daripada rasa nyaman.
 
        Keempat, tentang sistem pendidikan di Indonesia. Tetapi saya tidak ingin membahasnya disini karena tidak terlalu relevan dengan judul artikel ini. Intinya, pisau itu bisa menjadi tajam dan bagus, tergantung siapa yang mengasahnya.

***

 

        "Tak ada manusia yang benar-benar putih. Pada dasarnya setiap manusia pasti bersalah." Begitulah seorang jurnalis ternama mengatakan sudut pandangnya dalam menilai manusia. Di dunia yang berbeda, seorang praktisi pemasaran perusahaan terkenal mengemukakan sudut pandanganya dalam menilai manusia, "Tak ada manusia yang benar-benar hitam. Karena hakikatnya manusia itu adalah makhluk yang baik. Pasti ada nilai-nilai positif dalam setiap individu." Menjadi menarik bagi saya mendalami tentang manusia akhir-akhir ini. Saya juga seorang manusia. Namun kenyataannya saya harus menjadi manusia yang lain untuk bisa mengerti orang lain. Saya harus memutar pandangan 180' untuk tahu bahwa dibalik sisi hitam ada sisi putih. Hingga saya bisa mengambil kesimpulan bahwa tidak ada yang salah dari kedua pernyataan kedua orang itu.

 
 
       

Tidak ada komentar :

Posting Komentar