November 2015
Untuk kau, dua orang disana, yang damai di surga, dan tak kan pernah kembali
Biarkan bayang-bayang menari dalam terang, di udara tanpa berpijak
Untuk kau, dua orang disana, yang damai di surga, dan tak kan pernah kembali
Biarkan bayang-bayang menari dalam terang, di udara tanpa berpijak
“Dia cantik ya, Mas?
Cantik… Cantik… Cantik…” Wajahnya tersenyum lesu. Napasnya masih terseka-seka
perlahan. Bicaranya sangat lambat. Lelah. Letih yang bertambah-tambah. Rasa sakit
yang teramat sangat usai perjuangan hebat, “Anak pertama kita, Mas.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Kita beri nama siapa, Mas?”. Setyo membelai lembut
rambut Alin dengan tangan kanannya. Ia hanya membalas senyuman yang dalam.
Tanpa kata. Tangan kirinya menggenggam lengan Alin. Jempol di tangan kiri itu
bergerak mengusap ke kiri dan ke kanan. Setyo menghirup napas panjang, lalu
melepaskannya perlahan.
“Bagaimana jika bayi
mungil yang lucu ini kita beri nama… Setialina. Gabungan nama kita berdua, Mas.”
Ia tak bosan-bosannya memandangi wajah bayi itu. Putih, bersih. Pipinya terlihat
jelas pembuluh darah yang menjalar dan memberikan warna kebiruan. Bibirnya berwarna
merah sangat muda. Dua bola matanya belum teramati. Masih tertutup. Bayi mungil
itu masih menikmati tidurnya. Atau mungkin ia masih belum siap menatap dunia
yang kejam ini.
Tangan bayi itu
tersimpan rapi dalam selubung kain panjang yang dibalutkan dengan erat. Ia tak
bisa menyalami siapapun dengan tangan lembutnya yang masih suci tanpa dosa. Atau
ia memang takut tangannya kelak akan dipaksa berdosa oleh dunia ini, yang
arusnya sangat kuat menuju neraka. Di dunia ini, tak ada ketakutan dalam
mencuri, dalam jumlah sedikit bahkan dalam jumlah besar sekalipun. Dengan tangan
yang nyata, atau dengan tangan yang maya tanpa ada yang tahu. Uang milyaran
rupiah yang seharusnya untuk kepentingan rakyat banyak, semua bisa diambil
dengan tangan maya. Mungkin ia khawatir tangannya akan seperti itu.
Tangannya masih
disembunyikan dalam-dalam. Atau mungkin ia takut tangan itu akan berani
menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya, bahkan berani berpegangan mesra. Atau
tangan itu menjadi lemah tak berdaya melawan tangan orang lain yang berani
menyusup kesana kemari, jelas-jelas dengan penuh nafsu namun tetap mengatakan ini
hanyalah bukti cinta. Seseorang yang disebut pacar di dunia ini. Laksana
kebutuhan primer, menjadi suatu keharusan manusia normal memiliki pacar dan
bermesra-mesraan tanpa ikatan yang sah. Lantas manusia yang diagung-agungkan
itu, menjadi tak berbeda dengan binatang yang juga bebas berbuat demikian tanpa
ikatan yang sah.
***
“Assalamualaikum. Alin.
Hallo Mas Setyo. Bagaimana keadaanmu, Lin? Sehat kan? Bagaimana proses
persalinannya?” tiba-tiba seseorang datang dari pintu. Dia Rizka, sahabat Alin.
“Hai Rizka!
Alhamdulillah… ya beginilah keadaanku. Sesar juga jadinya. Tapi semua lancar
kok. Hehehe.” Alin sedikit berteriak, meskipun ia tahu itu adalah kemampuan
maksimal yang ia miliki saat ini. Tak seharusnya ia menggunakannya. Ia masih
sangat lemas. Namun kedatangan Rizka membuatnya sangat bahagia. Lama sekali
mereka tak jumpa. Rizka menyempatkan diri datang jauh-jauh dari luar kota demi
menemui sahabat karibnya itu. Mereka sedari sekolah menengah pertama sudah
menjadi sahabat. Walaupun SMA dan kuliah tidak di tempat yang sama, namun
mereka tetap menyempatkan waktu bersama, meski hanya sekedar bercanda tawa dan
bertukar cerita di rumah ataupun tempat makan.
“Hai Rizka.” Tiba-tiba
mama Alin juga masuk dari pintu. Mama menyapa Rizka, bersalaman, dan berpelukan
menempelkan kedua pipi bergantian.
“Hallo mama. Kok mama
kelihatannya lelah sekali? Pasti ngga tidur nih gara-gara menantikan cucu pertama.
Hahaha.” Rizka tersenyum lebar. Mama hanya membalas dengan senyuman lesu,
tatapannya tak bergairah. Sekitar matanya terlihat sedikit bengkak dan sedikit basah.
“Alhamdulillah yah, Ma.
Akhirnya, cucu yang dinantikan 6 tahun ini datang juga.” Ia memandangi bayi
Setialina yang cantik, “Ih… kamu cantik sekali… ngga sia-sia nungguin 6 tahun
demi kamu. Kamu tahu ngga, bagaimana perjuangan mama kamu harus dirawat 3 bulan
demi kamu? Disuntik sana-sini. Untung kamu cantik. Hahaha.” Rizka mengelus-elus
pipi mungil yang lembut itu, “Kamu pasti gedenya lebih cantik dari mama kamu. Hahaha.”
Perlahan tawa Rizka mulai meredup. Senyumannya seolah tertahan oleh sesuatu hal
yang menjanggal dalam pikirannya.
“Lin??? Ma???” Rizka
menggenggam tangan mama. Genggamannya erat. Mama juga menggenggam tangan Rizka.
Tubuh mama mulai goyah, tak bisa berdiri tegap lagi. Gemetar. Sekujur tubuh
mama gemetar. Seolah mencoba untuk tetap bertahan, tetap kokoh berdiri, tapi
tak bisa. Tanpa sadar air mata mengalir deras. Mata yang belum kering, kini
harus basah kembali. Mama segera berlari ke pintu, keluar dari kamar, sebelum
air mata itu lebih banyak keluar.
Rizka hanya terdiam. Alisnya
mengkerut. Kelopak bawah mata mulai menebal mengisyaratkan kantung yang siap
menampung air mata. Rahangnya tertahan kuat dan tak membiarkan kata-kata lain
terucap. Tangan kirinya mengatupkan bibir yang bergumam dalam gemetar. Sementara
jari telujuk tangan kanannya mencoba sekali lagi menyentuh daerah di dekat pipi
mungil itu. Daerah yang memberikan penjelasan mengapa tiada kegembiraan di
kamar itu. Daerah sempit diantara bibir dan lubang hidung.
Ya, sedari tadi bayi
itu tidak bernapas. Ia tidur selamanya. Dan tak kan pernah terbangunkan oleh
pagi.
“Ia masih di dekat kita,
Rizka. Kau lihat disana, ia sedang menari di udara. Ia masih disini, Rizka, ia
tersenyum cantik dalam terangnya cahaya.” Ucap Alin tertatih
***
"Dimana letak surga itu
Biar kugantikan tempatmu denganku
Adakah tangga surga itu
Biar kutemukan untuk bersamamu"
_AM_
Tidak ada komentar :
Posting Komentar