Terinspirasi dari tragedi kereta api, September 2014
untuk para sahabatku, agar kau tahu makna cinta sesungguhnya
untuk para sahabatku, agar kau tahu makna cinta sesungguhnya
Rani berjalan begitu cepat, sangat tergesa-gesa karena
matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Matanya melirik kiri dan kanan dengan cepat, terburu-buru
menyeberang. Sebuah tas agak besar cukup bagus disandang dibahu kanannya
dengan tangan menjepit tas tersebut. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Rani termenung sejenak sambil menatapi kereta KRL yang
melintas di hadapannya
[Suara ingatan]
“Adiknya pinter kok kakaknya enggak?”
“Kamu hebat sekali, Ren. Jauh lebih hebat dari kakakmu”
“Padahal orangtuanya sama, makanannya juga sama, tapi yang
satu juara olimpiade dan selalu juara kelas. Eh yang satunya nggak pernah dapet
ranking, yang ada pernah nggak naik kelas”
“Ha? Serius kakaknya rendi itu? Mana mungkin? Adiknya saja
pintar”
Sore mulai menjelang, matahari sudah tidak menyengat lagi. Langit mulai memancarkan cahaya jingga. Rani berdiri dan membereskan semua peralatannya serta
memasukkan ke dalam karung. Lantas ia menyandang karung tersebut dan pergi meninggalkan
tempat
Rendi tampak mengeluarkan isi dompet untuk membayar makanan
di kafe ditemani Amara. Rani lewat dan melihat kemesraan mereka. Rani sangat
terkejut dan marah. Rendi menoleh dan melihat Rani, dengan ragu-ragu dan
penasaran Rendi mendekatinya, namun Rani segera memalingkan wajah lantas
menghilang di keramaian. Rendi heran namun ia tetap berprasangka baik.
[Di rumah kontrakan]
Rani duduk di kasur. Rani menghitung lembaran uang kertas yang ternyata hanya Rp
57.000 ditambah dengan Rp 10.000 uang recehan. Ia memasukkan beberapa lembar ke dalam celengan, dan sisanya
ia masukkan dalam dompet. Ia membuka buku diari, menulis, lalu termenung sejenak memandangi
foto ayah dan ibu yang terletak di halaman belakang buku tersebut. Hingga lamunan tersebut pecah akibat terdengar suara motor datang
dan terparkir. Tampak dari jendela kamar Rendi berjalan masuk ke dalam
rumah.
Rendi : “Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam. Kok pulangnya lama? Ada kuliah tambahan
lagi?” muka Rani masam
“Ya….gitu deh kak. Harap maklum saja lah kak. Namanya juga
mahasiswa farmasi. Dosennya sibuk. Sering ke luar negeri, rapat BPOM, rapat
Kemenkes, rapat ISO lah, rapat ini itu….”
“Jadi tadi itu full kuliah aja dari pagi?”
“I, i, iya kak.” Ragu-ragu lalu segera mengalihkan
pembicaraan “Oh iya kak, tadi aku lihat ada pengemis mirip kakak. Lucu deh.
Lain kali aku ajak kakak lewat sana, pasti kaget. Hahahaha”
Rani terkejut dan gugup. Mukanya tampak terpaksa ikut
tertawa, “Seandainya kakak kamu ini pengemis kenapa?”
“Haduuuh…malu banget kak. Hahaha. Lagian nggak mungkin ah.
Masa kakakku pegawai bank yang cantik ini jadi pengemis? Kakak ini ada-ada
aja.” Rendi tertawa terbahak-bahak
Rendi mengetuk pintu tiga kali dan langsung membuka pintu
kamar “Kak”. Rani segera menutup diarinya dan menyimpannya di dalam
lemari kecil di samping kanan bawah dari tempat duduknya. Rani tampak sangat
terkejut dan segera menghapus air matanya.
Rendi masuk dan menawarkan teh untuk Rani. Rani meminum teh
tersebut. Matanya masih merah. Tangannya gemetar. Ia mencoba bernapas secara
normal namun sulit. Nafasnya tetap tersedak-sedak.
“Hmm…oh iya kak.” Rendi menundukkan pandangannya “Soal uang
kuliah aku semester depan…. Naik lagi kak.” Ucapan tersebut menghentikan Rani
yang sedang minum teh. “Hmm… tapi kalau kakak nggak bisa, nggak apa-apa kok.
Aku ambil cuti dulu aja, kerja dan cari uang.” Sambungnya segera.
“Kamu ini. Kuliah aja yang bener. Nggak usah mikirin uang.
Kamu minta motor aja kakak kasih. Apalagi uang kuliah.” Jawab Rani santai
sambil menaruh kembali teh ke atas meja.
[Jalan]
Rani berjalan begitu cepat, sangat tergesa-gesa karena
matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Matanya melirik kiri dan kanan dengan cepat, terburu-buru
menyeberang. Sebuah tas agak besar cukup bagus disandang dibahu kanannya
dengan tangan menjepit tas tersebut. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Rani termenung sejenak sambil menatapi kereta KRL yang
melintas di hadapannya.
[Suara ingatan]
“Adiknya pinter kok kakaknya enggak?”
“Kamu hebat sekali, Ren. Jauh lebih hebat dari kakakmu”
“Padahal orangtuanya sama, makanannya juga sama, tapi yang
satu juara olimpiade dan selalu juara kelas. Eh yang satunya nggak pernah dapet
ranking, yang ada pernah nggak naik kelas”
“Ha? Serius kakaknya rendi itu? Mana mungkin? Adiknya saja
pintar”
“Assalamualaikum” seseorang menyapa.
Rani mendongak perlahan, dan ternyata ia adalah Rendi dan
Amara. Rani terkejut dan langsung berdiri serta berlari tanpa
melihat kiri kanan. Di pikirannya hanya bagaimana caranya segera hilang dari tempat
itu. Rendi masih belum sepenuhnya menyadari itu adalah Rani.
Amara : “Kenapa pengemis itu langsung lari ya?”
Rani terus bergegas lari dari tempat tadi, tetap menunduk
tanpa melirik kiri kanan. Kereta KRL datang dan Rani ….. (tertabrak)
Satu per satu teman Rendi ijin pulang dengan menepuk bahunya
sebagai tanda agar lebih tabah dan sabar. Di samping Rendi selalu ada Amara
yang membelai lembut pundak Rendi.
[Kamar]
Rendi pun ke kamar Rani ditemani Amara dibelakangnya.
Membuka laci dan melihat buku diari, dompet dan celengan . Rendi membuka halaman terakhir buku diari Rani dan
membacanya
“Mama, Papa.
Aku tidak sanggup
lagi dengan hidup ini. Aku lelah. Bahkan kini anak kalian yang sangat pintar itu,
yang selalu kalian elu-elukan itu, ternyata sudah pintar pula berbohong. Aku
memang bodoh. Aku tidak bisa membanggakan kalian ketika kalian hidup. Aku tak
pernah juara kelas. Aku tak pernah memberikan prestasi untuk kalian. Tapi aku
punya cinta yang tertanam di relung jiwa ini. Dan sesungguhnya itu jauh lebih
bermakna dari apa pun di dunia ini.
Aku sanggup membuang urat malu di leher ini, aku beranikan
mencoreng nista hitam di muka ini. Aku rendahkan harga diri ini
serendah-rendahnya, seburuk-buruknya. Demi apa? Demi tanggungjawab yang kalian
bebankan pada bahuku ini. Berat pa! Berat ma!
Mama, Papa. Rasanya aku ingin ikut bersama kalian saja.”
Rendi tak kuasa menahan air matanya. Amara mencoba menenangkannya
dengan meletakkan tangannya di punggung Rendi, lalu tangan tersebut naik pundak
dan ke bahu.
Rendi tersadar dari tangisannya. Ia melepaskan tangan Amara
dari bahu kanannya “Amara, hmm….sebaiknya sekarang kamu pulang saja.”
“Tapi, Ren…”
Rendi hanya menjawab dengan tangan kanannya yang diangkat
menandakan akhir pembicaraan dan ia tidak mau mendengar lagi.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar