Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Makna

Terinspirasi dari tragedi kereta api, September 2014
untuk para sahabatku, agar kau tahu makna cinta sesungguhnya


        Rani berjalan begitu cepat, sangat tergesa-gesa karena matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Matanya melirik kiri dan kanan dengan cepat, terburu-buru menyeberang. Sebuah tas agak besar cukup bagus disandang dibahu kanannya dengan tangan menjepit tas tersebut. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Rani termenung sejenak sambil menatapi kereta KRL yang melintas di hadapannya

 [Suara ingatan]
 “Adiknya pinter kok kakaknya enggak?”
“Kamu hebat sekali, Ren. Jauh lebih hebat dari kakakmu”
“Padahal orangtuanya sama, makanannya juga sama, tapi yang satu juara olimpiade dan selalu juara kelas. Eh yang satunya nggak pernah dapet ranking, yang ada pernah nggak naik kelas”
“Ha? Serius kakaknya rendi itu? Mana mungkin? Adiknya saja pintar”
 
         Rani terus berjalan, menapaki setiap langkah di pinggir jalan. Mukanya tertunduk tanpa melihat kiri kanan. Tampak tangan kanannya memikul karung besar lusuh yang membebani pundak hingga ke punggung. Langkahnya terhenti di suatu tempat keramaian dimana orang sibuk berlalu lalang. Ia pun duduk dan menaruh ember kecil di depannya. Sesekali datang orang memberikan uang Rp 2.000 hingga Rp 5.000. Namun acap kali orang lewat melemparkan uang receh Rp 500 atau Rp 1.000. Setiap kali uang mulai memenuhi ember tersebut, Rani mengeruknya dan memasukkan ke dalam kantong tersembunyi sehingga ember tersebut seolah belum pernah diisi dan mohon dikasihani.
        Sore mulai menjelang, matahari sudah tidak menyengat lagi. Langit mulai memancarkan cahaya jingga. Rani berdiri dan membereskan semua peralatannya serta memasukkan ke dalam karung. Lantas ia menyandang karung tersebut dan pergi meninggalkan tempat
 
[Jalanan depan kafe]
        Rendi tampak mengeluarkan isi dompet untuk membayar makanan di kafe ditemani Amara. Rani lewat dan melihat kemesraan mereka. Rani sangat terkejut dan marah. Rendi menoleh dan melihat Rani, dengan ragu-ragu dan penasaran Rendi mendekatinya, namun Rani segera memalingkan wajah lantas menghilang di keramaian. Rendi heran namun ia tetap berprasangka baik.
[Di rumah kontrakan]
        Rani duduk di kasur. Rani menghitung lembaran uang kertas yang ternyata hanya Rp 57.000 ditambah dengan Rp 10.000 uang recehan. Ia memasukkan beberapa lembar ke dalam celengan, dan sisanya ia masukkan dalam dompet. Ia membuka buku diari, menulis, lalu termenung sejenak memandangi foto ayah dan ibu yang terletak di halaman belakang buku tersebut. Hingga lamunan tersebut pecah akibat terdengar suara motor datang dan terparkir. Tampak dari jendela kamar Rendi berjalan masuk ke dalam rumah. 
Rendi : “Assalamualaikum”
“Waalaikumussalam. Kok pulangnya lama? Ada kuliah tambahan lagi?” muka Rani masam
“Ya….gitu deh kak. Harap maklum saja lah kak. Namanya juga mahasiswa farmasi. Dosennya sibuk. Sering ke luar negeri, rapat BPOM, rapat Kemenkes, rapat ISO lah, rapat ini itu….”
“Jadi tadi itu full kuliah aja dari pagi?”
“I, i, iya kak.” Ragu-ragu lalu segera mengalihkan pembicaraan “Oh iya kak, tadi aku lihat ada pengemis mirip kakak. Lucu deh. Lain kali aku ajak kakak lewat sana, pasti kaget. Hahahaha”
Rani terkejut dan gugup. Mukanya tampak terpaksa ikut tertawa, “Seandainya kakak kamu ini pengemis kenapa?”
“Haduuuh…malu banget kak. Hahaha. Lagian nggak mungkin ah. Masa kakakku pegawai bank yang cantik ini jadi pengemis? Kakak ini ada-ada aja.” Rendi tertawa terbahak-bahak
 
[Dalam kamar Rani]
        Rendi mengetuk pintu tiga kali dan langsung membuka pintu kamar “Kak”. Rani segera menutup diarinya dan menyimpannya di dalam lemari kecil di samping kanan bawah dari tempat duduknya. Rani tampak sangat terkejut dan segera menghapus air matanya.
        Rendi masuk dan menawarkan teh untuk Rani. Rani meminum teh tersebut. Matanya masih merah. Tangannya gemetar. Ia mencoba bernapas secara normal namun sulit. Nafasnya tetap tersedak-sedak.
“Hmm…oh iya kak.” Rendi menundukkan pandangannya “Soal uang kuliah aku semester depan…. Naik lagi kak.” Ucapan tersebut menghentikan Rani yang sedang minum teh. “Hmm… tapi kalau kakak nggak bisa, nggak apa-apa kok. Aku ambil cuti dulu aja, kerja dan cari uang.” Sambungnya segera.
“Kamu ini. Kuliah aja yang bener. Nggak usah mikirin uang. Kamu minta motor aja kakak kasih. Apalagi uang kuliah.” Jawab Rani santai sambil menaruh kembali teh ke atas meja.
 
[Jalan]
        Rani berjalan begitu cepat, sangat tergesa-gesa karena matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Matanya melirik kiri dan kanan dengan cepat, terburu-buru menyeberang. Sebuah tas agak besar cukup bagus disandang dibahu kanannya dengan tangan menjepit tas tersebut. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Rani termenung sejenak sambil menatapi kereta KRL yang melintas di hadapannya.
 
[Suara ingatan]
“Adiknya pinter kok kakaknya enggak?”
“Kamu hebat sekali, Ren. Jauh lebih hebat dari kakakmu”
“Padahal orangtuanya sama, makanannya juga sama, tapi yang satu juara olimpiade dan selalu juara kelas. Eh yang satunya nggak pernah dapet ranking, yang ada pernah nggak naik kelas”
“Ha? Serius kakaknya rendi itu? Mana mungkin? Adiknya saja pintar”
         Rani terus berjalan, menapaki setiap langkah di pinggir jalan. Mukanya tertunduk tanpa melihat kiri kanan. Tampak tangan kanannya memikul karung besar lusuh yang membebani pundak hingga ke punggung. Langkahnya terhenti di suatu tempat keramaian dimana orang sibuk berlalu lalang. Ia pun duduk dan menaruh ember kecil di depannya. Sesekali datang orang memberikan uang Rp 2.000 hingga Rp 5.000. Namun acap kali orang lewat melemparkan uang receh Rp 500 atau Rp 1.000. Setiap kali uang mulai memenuhi ember tersebut, Rani mengeruknya dan memasukkan ke dalam kantong tersembunyi sehingga ember tersebut seolah belum pernah diisi dan mohon dikasihani.
“Assalamualaikum” seseorang menyapa.
Rani mendongak perlahan, dan ternyata ia adalah Rendi dan Amara. Rani terkejut dan langsung berdiri serta berlari tanpa melihat kiri kanan. Di pikirannya hanya bagaimana caranya segera hilang dari tempat itu. Rendi masih belum sepenuhnya menyadari itu adalah Rani.
 
Amara : “Kenapa pengemis itu langsung lari ya?”
Rani terus bergegas lari dari tempat tadi, tetap menunduk tanpa melirik kiri kanan. Kereta KRL datang dan Rani ….. (tertabrak)
 [Rumah kontrakan]
Satu per satu teman Rendi ijin pulang dengan menepuk bahunya sebagai tanda agar lebih tabah dan sabar. Di samping Rendi selalu ada Amara yang membelai lembut pundak Rendi.
 
[Kamar]
Rendi pun ke kamar Rani ditemani Amara dibelakangnya. Membuka laci dan melihat buku diari, dompet dan celengan . Rendi membuka halaman terakhir buku diari Rani dan membacanya
Mama, Papa.
Aku tidak sanggup lagi dengan hidup ini. Aku lelah. Bahkan kini anak kalian yang sangat pintar itu, yang selalu kalian elu-elukan itu, ternyata sudah pintar pula berbohong. Aku memang bodoh. Aku tidak bisa membanggakan kalian ketika kalian hidup. Aku tak pernah juara kelas. Aku tak pernah memberikan prestasi untuk kalian. Tapi aku punya cinta yang tertanam di relung jiwa ini. Dan sesungguhnya itu jauh lebih bermakna dari apa pun di dunia ini.
Aku sanggup membuang urat malu di leher ini, aku beranikan mencoreng nista hitam di muka ini. Aku rendahkan harga diri ini serendah-rendahnya, seburuk-buruknya. Demi apa? Demi tanggungjawab yang kalian bebankan pada bahuku ini. Berat pa! Berat ma!
Mama, Papa. Rasanya aku ingin ikut bersama kalian saja.”
Rendi tak kuasa menahan air matanya. Amara mencoba menenangkannya dengan meletakkan tangannya di punggung Rendi, lalu tangan tersebut naik pundak dan ke bahu.
Rendi tersadar dari tangisannya. Ia melepaskan tangan Amara dari bahu kanannya “Amara, hmm….sebaiknya sekarang kamu pulang saja.”
“Tapi, Ren…”
 
Rendi hanya menjawab dengan tangan kanannya yang diangkat menandakan akhir pembicaraan dan ia tidak mau mendengar lagi.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar