Terinspirasi dari kisah nyata seseorang, Oktober 2014
bahwa dunia akan kelam kala ditinggalkan cinta
bahwa dunia akan kelam kala ditinggalkan cinta
Aku tiba-tiba teringat ketika
masa itu. Sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu aku berdoa kepada Allah,
segerakan jodohku. Aku tidak butuh dia seorang yang gagah, tampan atau rupawan.
Aku hanya realistis saja, yang terpenting dia bisa menafkahi lahir dan bathin.
Ya, kurasa itu sangat wajar. Bukan karena aku matre, aku hanya mencoba
realistis. Toh, manusia tidak bisa hidup hanya dengan cinta. Manusia tidak bisa
hidup hanya dengan belaian kasih sayang atau ungkapan romantis yang indah
didengar. Pun, manusia tidak bisa hidup dengan saling memandang ketampanan dan
kecantikan. Intinya, cinta itu penting, tetapi harta juga penting. Bagiku tak
ada yang bisa dinomorduakan. Banyak orang yang bercerai karena sudah lelah
hidup susah. Karena bagaimanapun hidup miskin harta itu hanya akan memicu
pertengkaran dalam rumah tangga. Oke, istri dan suami masih bisa terima. Tetapi
bagaimana dengan orangtua? Oke kalau orangtua juga berjiwa besar. Bagaimana
dengan anak? Ia pasti akan iri dengan teman-temannya, senantiasa bersedih
dengan takdir yang tak adil. Ya, begitulah hidup. Realistis
‘Kriiiing!’ suara telepon genggam
dalam tas mengagetkanku.
“Eh amit-amit deh. Enak aja. Suster kayak aku ini pasti bakalan jadi bidadari surga. Banyak orang yang sudah aku rawat.”
“Kopi hangat saja.” Jawabnya sambil mengusap-usap kedua lengannya.
Dalam satu kali berkedip, ia tidak lagi ada di sampingku. Badanku menjadi lemas tak berdaya. Mata sulit lagi untuk berkedip, menatap jauh ke luar sana, sembari bertanya-tanya di dalam benak. Perlahan aku dapat tidak lagi melihat cahaya. Aku tenggelam dalam kelam.
“Kamu dimana cantik?” sapaku pada
Susi lewat telepon genggam sekaligus bertanya.
“Duh… maaf ya Tik. Kayaknya aku
agak telat deh. Disini macet banget. Ini aja ngesot angkotnya. Kayak kamu kalo
ntar udah almarhumah. Hahahaha.” Jawabnya sambil meledekku.“Eh amit-amit deh. Enak aja. Suster kayak aku ini pasti bakalan jadi bidadari surga. Banyak orang yang sudah aku rawat.”
“Hahaha… Ya sudah. Pulsaku mau habis.
Nanti aku telepon lagi ya. Nikmati saja dulu momen berdua sama Mas Dimas.”
“Huh dasar… Ya sudah. Aku tunggu
ya. Bilang ke pak supirnya supaya ngebut.”
***
Bintang-bintang tampak indah
bertaburan di antara hitam pekat langit malam. Mata ini kupejamkan sembari
menghirup napas panjang, dalam-dalam. Bahu ini terangkat. Udara malam yang
dingin terasa menyejukkan. Memberikan rasa damai dalam dada. Lalu perlahan
udara dikeluarkan lewat mulut. Bahu pun kembali pada posisinya. Jiwa ini terasa
lebih tenang. Sungguh malam ini sangat indah.
Sudah satu jam berlalu aku duduk
disini. Tepat di depan lampu bulat yang disangga dengan tiang besi berwarna
hitam yang berdiri tegak. Sinarnya remang-remang kekuningan menambah cantiknya
pesona malam ini. Aku memang sengaja datang lebih cepat setengah jam.
Rencananya biar bisa ngobrol-ngobrol dulu dengan Susi. Dia sahabat karibku
sedari sekolah menengah pertama. Hingga usia yang hampir kepala tiga ini, kami
masih kami yang dulu. Dengan orang lain mungkin kami terlihat dewasa dan
bijaksana. Terlebih lagi karena tuntutan profesi pekerjaan. Namun kala kami
bertemu, ya…kami akan kembali seperti bocah remaja yang suka cekikikan
dimana-mana. Hahaha. Padahal tidak lama lagi kami akan menikah. Susi sudah
mengenalkan calon suaminya kepadaku. Dan kini, sebaliknya, saatnya aku
mengenalkan calon suamiku kepadanya. Aku yakin Susi pasti sangat setuju.
Namanya Dimas.
“Astaghfirullah!” Setengah
berteriak. Aku langsung terkejut bukan main. Ketika mataku terbuka, Mas Dimas
sudah duduk di sampingku. Aku bahkan tidak merasakan ada getaran ataupun
gerakan kursi di dekatku.
“Hey mas! Kamu bikin aku kaget
deh! Huh… untung saja aku tidak sakit jantung.” Aku mulai kembali bernapas
lega. Dia hanya tersenyum seperti biasanya.
“Oh iya. Mas mau pesan apa? Aku
panggil mbak-nya deh.” Tanyaku lagi.“Kopi hangat saja.” Jawabnya sambil mengusap-usap kedua lengannya.
***
“Hmm…. Tika, ada hal penting yang
mau aku bilang ke kamu.” Ia menunduk. Tangannya sibuk mengaduk-aduk secangkir
kopi hangat di atas meja. Lantas ia menatapku sangat serius.
“Ya? Bilang aja mas.” Jawabku
berat. Ada sedikit rasa sesak yang mengganjal. Entah apa. Meski dalam hati
sanubari ada secercah harapan.
“Tika, maafkan aku. Aku mohon
maafkan aku.” Hembusan angin seketika terasa lebih dingin dari biasanya. Dan
semakin dingin.
“Jujur aku sangat mencintaimu,
aku ingin sekali menjalani sisa hidup ini denganmu. Tetapi aku sadar, takdir
tak selamanya memihak. Aku harus menikahi gadis pilihan ibuku. Itu
permintaannya. Bagaimanapun rasa cintaku kepadamu, maaf sebesar-besarnya, rasa
itu tidak mampu mengalahkan hormat dan cintaku pada ibuku.” Ucapannya seolah
laksana gembok baja yang sangat erat memasung bibirku, bahkan seluruh raga ini.
Tidak sanggup berkata apa-apa.
“Aku mohon kamu memaafkanku. Apapun
alasannya, apapun penjelasannya, ini hanya akan membuatmu lebih sakit. Tak
perlu kau tahu itu. Yang jelas, aku minta maaf atas segala kesalahanku. Ini
pertemuan terakhir kita. Aku harap kita saling melupakan satu sama lain….” Dalam satu kali berkedip, ia tidak lagi ada di sampingku. Badanku menjadi lemas tak berdaya. Mata sulit lagi untuk berkedip, menatap jauh ke luar sana, sembari bertanya-tanya di dalam benak. Perlahan aku dapat tidak lagi melihat cahaya. Aku tenggelam dalam kelam.
“Tikaaa!” Itu suara terakhir yang
jelas aku dengar. Suara perempuan yang sepertinya aku kenal.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar