Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Semu

Terinspirasi dari kisah nyata saat gempa di hari Jumat tahun 2011

 
        Anak muda itu bangkit dan membuka selimut tebalnya. Perlahan rasa menggigil hebat mulai sedikit mereda. Ketika itu ia melihat di depan pintu kamar ada Arin, gadis belia cantik yang sangat ia puja. 

“Hai, Rin. Syukurlah kau baik-baik saja. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Masuklah. Duduklah disini.” Yoga mengibas-ngibaskan bagian kasur di sebelah kanannya hingga tampak lebih rapi dan bersih dari debu-debu halus.

“Kau tidak apa-apa kan, Rin?” Yoga memegang kedua lengan Arin, dengan cepat ia melihat ke segala bagian tubuh Arin, memastikan benar-benar dalam keadaan baik. Gadis itu hanya diam dan tersenyum. Wajahnya putih berseri-seri. Dia lebih cantik dari biasanya.

“Syukur Alhamdulillah. Aku juga sekarang sudah baikan.” Yoga memperbaiki posisi duduknya, ia mulai bernapas lega melihat sang kekasih memang baik-baik saja, tak ada cacat sedikitpun karena peristiwa kemarin.

        Kejadian itu terjadi tepat pada pukul 09.00 WIB. Saat itu Yoga dan Arin sedang asyik makan berdua di kantin belakang sekolah. Itu bukan jam istirahat melainkan hanya pergantian jam pelajaran. Maklum, sebelumnya adalah pelajaran fisika yang sarat akan rumus dan analisa. Tiga puluh menit terakhir sang guru memberikan latihan soal yang harus mereka kerjakan sementara guru tersebut pergi lebih awal karena ada urusan. Beliau hanya mempercayakan kepada ketua kelas, yang tidak lain adalah Yoga. Dan ujung-ujungnya, kelas berantakan. Siswa bebas melakukan apa saja, asal jangan terlalu berisik agar tidak mengganggu kelas sebelah. Ada yang asyik bermain satu sama lain, curhat, membuka laptop, game online, bahkan tidur. Ada pula segerombol siswa sedang membicarakan tentang gempa pada tahun 2009 yang memporak-porandakan kota kala itu. 

        Sementara itu, Yoga dan Arin memilih untuk pergi ke kantin. Waktu tiga puluh menit cukup untuk ke kantin mencari makanan pengganjal perut sambil bercanda mesra berdua. Ya, berdua saja. Namun sayang, lima belas menit berselang, tiba-tiba datang gempa hebat mengguncang kota ini kembali. Gempa ini keras dan cukup lama. Semua siswa berhamburan keluar kelas, berlari-larian dari segala arah menuju satu titik, lapangan. 

        Kenangan G30S (gempa 30 September 2009) sangat mengerikan. Rasa takut dan panik tak bisa terelakkan. Begitu pula Arin. Gadis itu sangat pucat. Bibirnya kering berwarna putih. Keringat dingin mengalir di sekujur badannya. Yoga segera menyalakan motornya dan melaju kencang mengantarkan Arin pulang ke rumahnya. Tangan kanan Arin memeluk setengah perut Yoga, sedangkan tangan kirinya memegang erat pegangan belakang motor. Romantis sekali memang dua sejoli ini di saat gentir seperti ini.

        Bunyi klakson terdengar keras disana sini. Jalanan macet. Banyak orang memilih meninggalkan kendaraan mereka di tengah jalan dan memilih untuk berlarian ke arah yang lebih tinggi. Terik matahari pun menambah derita para pengguna jalan. Saat itu, Yoga merasakan tangan yang memeluknya semakin lemas dan dingin. 

***

“Oh iya, aku lupa mengambilkan minum untukmu. Sebentar ya.” Yoga segera mengambilkan segelas air putih di meja belajarnya. Disana ada sepiring nasi dan lauk, ada juga piring kecil berisi beberapa potong bolu cokelat, “Ini ada bolu cokelat juga. Cobain deh, enak lho. Mama memang jago deh kalau urusan masak-memasak.”

“Eh, ada Mama. Baru saja disebut. Haha. Mmm..Enak lho, Ma. Nyam-nyam.” Yoga melihat Mama berdiri di depan pintu kamar. Kue buatan Mama dilahapnya, tampak begitu nikmat. Tetapi sebenarnya Yoga memang sangat lapar. Seharian dia tak makan. Dia terakhir makan kemarin sekitar jam sembilan pagi bersama Arin. Itu pun hanya cemilan kecil di kantin. Sampai jam dua siang ini dia belum makan lagi.

“Iya, makan yang banyak ya, sayang.” Mama masuk ke dalam kamar, tersenyum dan mengusap-usap pundak Yoga, “Kamu sudah baikan?”

“Sudah, Ma. Aku sudah baikan kok. Hanya sedikit pusing aja karena gempa kemarin mungkin ya.”

“Ya sudah. Mama mau ke rumah Arin dulu ya. Mama rasa kamu belum bisa kesana. Kamu masih sangat pucat, sayang. Istirahat lagi saja ya.”

“Lho? Ngapain Mama ke rumah Arin? Arin kan disini.”

“Astaghfirullahal’azhim… Nggak ada siapa-siapa disini, sayang!” Mama langsung terkejut, matanya melotot, tangannya langsung memegang kening Yoga, “Kamu nggak apa-apa kan? Astaghfirullah… Jangan bikin mama panik begini, nak! Arin itu sudah meninggal kemarin jatuh dari motor kamu. Lalu dilindas oleh mobil truk. Hari ini dia dimakamkan.”

“Mama! Aku nggak suka Mama ngomong begitu! Arin masih hidup!” Yoga berteriak.

“Sadarlah, sayang… Sadar, Anakku… Astaghfirullah…” Air mata Mama tak lagi terbendung. Mengalir begitu saja. 

“Ma, Arin masih hidup… Dia baik-baik saja, Ma. Ini buktinya. Dia ada disini kan?” Yoga menoleh ke sebelah kanan. Namun sayang, ia baru sadar ternyata tak ada seorang pun yang duduk di sana.
 
***
 
"Langit begitu gelap, hujan tak juga reda
Kupikir ku tak pernah pantas untuk bahagia
Sejak kau pergi dalam ketidaktahuanku
Kini kau kembali, membawa bingkisan kebahagiaan."
_AM_


1 komentar :