Rasa
tak muncul begitu saja
Selalu
ada alasan untuk ia ada
MIC, Januari 2019
“Fahma,
tunggu!” seseorang berteriak dari kejauhan. Rayhan. Lantas ia mengejar
mendekat, “Aku ingin bicara.” Rayhan menghela napas sejenak. Ia tepat berada di
depan Fahma yang tertunduk. Gelisah, hendak segera pergi, tak mau menatap sosok
di hadapannya itu.
“Fahma!
Kamu kenapa sih? Ada apa?”
“Nggak
ada apa-apa kok, Han. Aku harus buru-buru pulang, mau hujan.” Fahma segera
bergegas pergi meninggalkan pertemuan itu. Saat itu, langit biru memang tak
tampak, diselimuti oleh awan hitam tebal. Angin kencang mengayunkan pepohonan
di tepi jalan, menggugurkan dedaunan kering kemuning di sekitar mereka. Namun Rayhan
menahan Fahma, ia menggenggam erat tangan Fahma, tak dibiarkan pergi begitu
saja.
“Aku
bawa payung. Nanti aku antar sampai rumah. Oke?” Ucapan Rayhan membuat alasan
Fahma sudah tak dapat diterima lagi, “Aku minta tolong, aku ingin tahu ada apa
sebenarnya. Aku nggak bisa terus-terusan begini. Kita udah temenan dari 5 tahun
yang lalu. Kita mau sama-sama berjuang untuk menggapai mimpi kita. Tapi kenapa
sekarang kamu menjauh dari aku? Kamu bukan lagi Fahma yang aku kenal. Aku
ngerasa kamu sengaja ngejauhin aku.” berhenti sejenak. Lantas kembali bertanya,
“Ada apa, Ma?”
“Nggak
ada apa-apa kok, Han. Udah lah, nggak penting bahas ini.” ia melepaskan
genggaman tangan Rayhan. Namun tak bisa. Terlalu kuat.
“Ini
karena Sherly, kan?” sebuah pertanyaan yang seolah menghentikan langkah kaki
Fahma. Melemahkan tangannya yang sedari tadi ingin melepaskan genggaman Rayhan.
“Salah
kalau aku suka sama Sherly? Salah kalau aku ingin menikah?” lanjutnya bertanya.
“Kamu
nggak salah, Han. Semoga lancar ya semuanya.” Fahma mencoba tersenyum, dengan
wajah yang masih tertunduk. Kaku. Napasnya seperti tertahan. Memang tak semua
yang ada di dalam hati harus diungkapkan, karena tak semua orang mampu
menerimanya.
“Han,
udah ya. Aku mau pulang. Tolong lepas.” pandangannya mengarah pada genggaman
tangan Rayhan. Nadanya pelan seolah memohon dengan sangat pasrah.
“Ma,
tolong jawab aku jujur! Kamu suka sama aku?” Rayhan masih menahannya, masih
belum membiarkan Fahma pergi. Fahma hanya diam. Tak ada jawaban.
“Ma,
jawab! Kamu suka sama aku?” Rayhan
mengulangi. Ia benar-benar membutuhkan jawaban atas pertanyaan itu.
“Iya.”
Sebuah jawaban singkat akhirnya keluar dari bibir Fahma. Singkat namun sangat
bermakna. Seketika saja genggaman tangan Rayhan terlepas. Itulah jawaban yang
dinantikan. Itulah perusak pertemanan mereka. Perusak mimpi-mimpi yang mereka
bangun. Itulah yang disebut dengan rasa cinta. Ketika rasa itu muncul, maka
pilihannya hanyalah dua, mendekatkan lebih dari sekedar teman atau benar-benar
memisahkan. Karena rasa itu egois. Banyak yang bilang cinta itu tak harus
memiliki. Bohong. Jika tak memiliki yang dicinta seutuhnya, maka pilihannya
hanyalah pergi menjauh. Karena bertahan di dekatnya hanya akan menggoreskan
luka yang dalam di hati. Rasa cinta itu benar-benar egois. Memaksa untuk harus
memiliki.
“Kenapa
bisa???” Rayhan seperti berbisik pada dirinya sendiri. Pelan, namun suara itu
jelas terdengar. Wajahnya tiba-tiba saja memerah, tak menyangka ini bisa
terjadi.
“Fahma,
aku minta maaf, aku benar-benar minta maaf, aku nggak bisa…”
“Nggak
bisa suka sama aku.” Fahma segera menimpali. Tak membiarkan kalimat itu
berlanjut dari mulut Rayhan. Karena jelas itu lebih menyakitkan. Seolah
menaburkan garam di atas luka yang terlanjur ada. Terasa semakin perih.
“Aku
udah tahu jawabannya, Han. Aku udah tahu. Kamu nggak bisa suka sama aku. Nggak
akan pernah bisa. Aku jelek. Bukan sosok perempuan yang kamu idamkan, nggak
akan pernah layak bersanding sama kamu. Sering kamu bilang kalau kamu nggak
nyari wanita yang bagaimana-bagaimana. Kamu hanya mencari pendamping yang
serasi sama kamu. Itu aja. Sementara kamu itu laki-laki tampan. Artinya kamu
cari perempuan yang cantik, yang cocok sama kamu. Gitu kan? Dia lah Sherly,
gadis yang baru kamu kenal. Sedangkan aku yang udah lama membangun mimpi sama
kamu, berjuang bersama, pergi kesana kemari berdua. Aku yang salah, aku bodoh,
mengapa membiarkan rasa itu tumbuh. Padahal aku tahu aku tak pantas. Aku nggak
cantik. Aku hanya cewek jelek! Aku tahu, Han. Aku udah tahu itu…” Air matanya
mengalir begitu deras. Sebuah ungkapan yang sedari tadi tertahan dalam hati.
Tak ada niat untuk melepaskannya dalam sebuah kejujuran.
“Aku
tahu, Han. Aku tahu…” ia menutup sebagian wajahnya. Menyeka air mata yang
terlalu banyak membasahi pipi. “Sekarang kamu lihat aku nangis. Itu kan yang
kamu mau?” Napasnya pendek-pendek, tersedu-sedu. Ia mencoba menenangkan diri.
***
Rintik-rintik hujan mulai turun.
Gemuruh terdengar menggelegar berselang dengan kilauan cahaya laksana lampu
potret. Seolah alam sedang mengabadikan pertemuan mereka saat itu. Entah akan
ada lagi pertemuan selanjutnya. Atau mungkin itu pertemuan terakhir. Yang pasti
potret itu akan selalu ada dalam benak mereka berdua, untuk dikenang di masa
depan.
Fahma dengan cepat menyeka air mata
yang masih tersisa. Segera ia pergi setengah berlari agar tidak pulang dalam
kondisi basah karena kehujanan. Tiba-tiba saja rintik-rintik hujan tak
menyentuhnya lagi. Sontak melihat ke atas kepala, ada payung yang telah
mengembang melindunginya.
“Aku
antar pulang ya. Tadi kan aku udah janji.”
***
untuk
dia yang saat ini masih berjuang,
maaf
jika rasa itu membuat tak bisa lagi bersama
Tidak ada komentar :
Posting Komentar