tentang dia, sang cahaya penuntun
dan dia, zat yang tercipta dari cahaya
MIC, 27 Agustus 2018
MIC, 27 Agustus 2018
Ia bergegas merapikan
meja kerjanya yang baru saja mulai berantakan. Pagi itu tepat pukul 10.33, hari
senin, hari yang penuh semangat memulai awal minggu yang baru. Seolah pada hari itu cahaya matahari lebih terang dibandingkan hari lainnya. Namun semangat
itu hilang seketika, pikirannya buyar, sudah tak fokus lagi untuk mengurusi
tumpukan-tumpukan kertas di meja itu. Satu kata dalam benaknya, hanya satu kata
saja, bergegas!
Usai semua rapi, ia segera menuju lift. Tak butuh waktu lama, karena pada rutinitasnya sehari-hari memang dituntut untuk cepat dan terburu-buru. Banyak pertanyaan melintas, “Yan? Kamu kenapa? Kok pulang? Kamu sakit? Yan? Kamu pucet banget? Yan? Yan?” Semua dibiarkan melintasi telinganya, berlalu begitu saja, tanpa ada jawaban.
“Yan!” tiba-tiba seseorang datang.
Menunggu bersama di depan lift, “Lo kenapa, Yan? Kalau lo mau pulang atau ke
rumah sakit, biar gue anter.” Dia Bayu, rekan kerja satu tim yang duduk tepat
di samping Ian. Namun Bayu tak digubrisnya. Ada yang tak biasa pagi itu. Bahkan setingkat manajer pun bertanya kepadanya tak dihiraukan. Ian terlihat sangat tergesa-gesa. Ada urusan
teramat penting sepertinya.
***
[INGATAN]
“Nama
udah bagus-bagus Ian, masa si papa manggilnya Buyung? Kayak nama orang kampung.”
Ujar Ian kala itu masih berusia 12 tahun. Mulai mempertanyakan banyak hal, dan
mulai memahami banyak hal.
“Hahaha.
Ian, Ian. Buyung itu panggilan sayang buat anak laki-laki. Papa kan orang kampung,
dan Ian itu anak papa yang papa sayangi, boleh kan manggil Buyung?” Semua
tertawa. Malam itu dingin, namun di dalam rumah itu terasa hangat. Hanya suara
mereka yang terdengar bersahut-sahutan. Televisi belum dinyalakan.
Mereka
masih di ruang solat dengan kain sarung yang masih melekat pada Ian, Iin, dan Papa,
serta mukena yang masih terpasang rapi pada Lia, Susan, Rikha, dan Mama. Mereka
baru saja selesai mengaji bersama. Bergiliran dalam urutan berbentuk lingkaran,
dimulai dari Ian, dan diakhiri oleh Papa. Ketika Ian salah dalam membaca huruf
hijahiyah, Papa langsung mencontohkan cara membaca yang benar, dengan irama
merdu yang jelas tak ada tandingan di ruangan itu. Begitupun jika yang lain
salah. Papa memang guru ngaji privat di keluarga itu. Satu keluarga bisa
mengaji karena Papa, di saat orangtua lain memasukkan anaknya ke TPA, tak mau
ambil pusing mengajari anaknya dalam beragama, sudah sangat lelah seharian mencari nafkah, yang penting anaknya bisa
mengaji.
***
[INGATAN]
Tiba-tiba
Papa datang terlambat masuk ke ruang solat. Jalannya pelan. Napasnya
terengah-engah, buru-buru tak ingin terlambat solat berjamaah. Solat belum
dimulai. Saat itu hanya ada Ian yang bersiap mengucapkan takbir sebagai imam
solat maghrib, di belakangnya ada Lia dan Mama. Ian langsung mundur ke
samping kanan, membentangkan sajadah baru, mempersilahkan Papa menjadi imam.
“Udah,
udah… Ian aja jadi imam. Papa kan telat.” sontak Papa menyuruh Ian kembali ke posisi
imam. Papa langsung mengambil posisi di samping kanan Ian, “Anak Papa sekarang
sudah hebat! Sudah bisa jadi imam solat!” Papa mengusap kepala Ian. Ian tertunduk
malu. Sepertinya dia agak grogi.
“Allahu
akbar!” Komando sudah terdengar lantang dari mulut Ian. Lantas semua ikut
mengangkat tangan takbiratul ihram. Solat maghrib pun dimulai.
***
[INGATAN]
“Pa,
Ian tadi udah ujian solat jenazah di sekolah! Lancar, Pa!”
“Ya
pasti lancar dong. Anak Pak Guru.” sahut Mama sambil menyiapkan makan siang
untuk Ian dan Papa. Membuat Papa tersenyum semringah.
“Papa
kan guru STM, nggak ada hubungannya, Ma. Kalau pintar menggambar rancangan
bangunan, itu baru karena Pak Guru.” ucap
Papa kepada Mama, lantas berganti menasehati Ian, “Hafalan solat jenazah itu harus diingat terus ya, Yung.
Kalau suatu saat nanti Papa meninggal, Ian harus jadi imam solat jenazahnya.
Karena imam yang paling afdhol itu adalah anak kandung.”
“Siap,
Pak Guru! Hahaha.” Ian tertawa meledek Papa. Dia sudah tak menolak lagi
panggilan Yung alias Buyung yang sering digunakan Papa.
“Besok-besok
kalau ada solat jenazah di masjid, Ian akan terus ikut, buat
ibadah fardhu kifayah sekaligus latihan biar nggak lupa.” lanjut Ian dengan
tekad mantap.
***
[INGATAN]
“Pa!
Buruan kesini! Lihat, Pa!” Ia berteriak memanggil Papa yang baru saja usai
menunaikan solat ashar. Sontak Papa setengah berlari menghampiri Ian di pintu
kamar. Tergopoh-gopoh. Saat itu beliau sudah berusia 64 tahun, terlalu tua
untuk dipaksa berlari.
“Ada
apa, Yan?” Papa sangat penasaran.
“Ian
lulus universitas terbaik di Indonesia, Pa! Ian lulus!” teriak Ian lebih keras
sembari menunjukkan layar laptop dengan tampilan website SNMPTN Undangan.
“Alhamdulillah!”
tanpa pikir usia, Papa langsung memeluk Ian dan menggendongnya. Menakjubkan.
Usia lanjut masih mampu mengangkat anak remaja berusia 18 tahun. Memang tak ada
yang berat jika sedang berbahagia. Semua pasti terasa ringan, terasa indah.
“Insya
Allah ini jalan pembuka Ian untuk bisa lanjut S2 ke Jerman, Pa.”
“Aamiin.
Ian pokoknya rajin terus belajar, semangat terus! Walaupun nanti nggak ada Papa
lagi, Ian tetap harus semangat ya. Hanya pendidikan yang bisa mengubah nasib,
menjanjikan masa depan yang cerah, memutus rantai kemiskinan. Papa bisa seperti
ini karena semangat terus mengejar pendidikan. Seandainya dulu Papa
bermalas-malasan, pasti Papa jadi petani juga, sama seperti saudara Papa yang
lain.” menghela napas sejenak, “Ingat, Yung. Bedanya harta dan ilmu. Kalau
harta, kita yang harus menjaganya. Kalau ilmu, kita yang akan dijaganya.”
***
[INGATAN]
“Pa!
Ian diterima S2 di kampus terbaik no. 7 di dunia! Pokoknya Papa nggak perlu mikirin apa-apa lagi, nanti Ian akan cari beasiswa. Yang harus Papa
pikirin gimana caranya Papa sehat dan kuat seperti dulu lagi. Biar nanti kalau
Ian wisuda S2, Papa bisa datang lagi kayak wisuda S1 kemarin…”
“Pa,
Ini Ian, Pa. Kata Mama, Papa pengen ngobrol sama Ian.” tak ada jawaban. Beliau
masih tertidur pulas.
“Pa?”
masih mencoba membangunkan.
“Papa
masih ingat nggak surat Al Fatihah dan Adh Dhuha?”
“Masih…”
akhirnya Papa bangun. Suaranya pelan. Matanya masih tertutup, seolah berat
sekali untuk dibuka. Tidur sepanjang hari masih belum menghilangkan rasa
kantuk.
“Coba
dong, Pa. Ian kangen suara Papa mengaji.”
“Bismillahirrahmanirrahim.
Wadh dhuha. Wal layli idza saja…..”
***
Mobil taxi online pun berhenti, tepat di depan rumah Ian. Seketika itu juga menghentikan semua ingatan-ingatan yang terlintas selama perjalanan panjang. Malam
itu tepat pukul 19.15. Meskipun sudah terburu-buru berangkat dari kantor, diantar
dengan sepeda motor oleh Bayu menuju bandara, namun tetap saja tidak bisa sore
hari sampai di rumah. Penerbangan delay selama 1 jam. Beberapa orang masih
menunggu, namun sudah banyak yang pulang. Menunggu Ian dari perantauan. Satu
per satu tamu disalami, memberikan ucapan terima kasih atas kedatangan berbela
sungkawa, sambil berjalan masuk ke ruang tamu, tempat berkumpul banyak orang. Ian hanya bisa tertunduk diam, mengelus dadanya yang terasa sempit. Hari itu memang hari yang paling berat, sangat menyesakkan dada.
Tiba-tiba seorang tetua kampung berteriak mengajak semua tamu untuk segera bersiap-siap. “Ayo, segera kita
solatkan! Sebentar lagi isya, tidak boleh berlama-lama dalam proses penyelenggaraan jenazah!”
“Siapa yang akan menjadi imam?” Tanya tetua
kampung. Ian langsung melangkah maju, menepati janjinya, memberikan persembahan
terakhir untuk cahaya penuntun hidupnya, yang telah dijemput oleh malaikat, zat
yang diciptakan dari cahaya, dan pergi untuk selama-lamanya.
“…
Kalau suatu saat nanti Papa meninggal, Ian harus jadi imam solat jenazahnya.
Karena imam yang paling afdhol itu adalah anak kandung …”
***
semoga tetesan air mata ini menyejukkanmu disana
salam rindu teramat sangat
Tidak ada komentar :
Posting Komentar