Untukmu, kado terindah dari Tuhan untukku
Agar kamu selalu bersyukur atas ketidakpastian hidup ini
Agar kamu selalu bersyukur atas ketidakpastian hidup ini
“HHH….HHH…HHH…”
napasnya sesak sekali, matanya terbelalak, mulutnya menganga, mencoba tetap
kuat bertahan dengan udara yang sangat banyak namun sulit untuk mencapai
paru-parunya. Badannya lemas terduduk di
lantai, bersandar di samping dipan, tak berdaya. Tangannya lurus ke lantai, mencoba
menahan badannya agar tak jatuh terlentang, karena ia tahu posisi terlentang
akan membuatnya semakin sulit untuk bernapas.
“Rahmi!” Mama mendengar
suara napas sesak itu. Ia berlari menuju kamar Rahmi, “Rahmi!” lantas berteriak
“Papa! Papa! Papa!”. Papa baru saja pulang dari kantornya, tak sampai sepuluh
menit saja merebahkan diri di sofa ruang tamu, beristrahat, lantas terkejut dan
segera mendatangi Mama.
Mama berteriak histeris
di dalam kamar, “Ya Allah...Rahmi, kamu lihat apa lagi, Nak?! Musibah apa
yang akan datang?! Ya Allah…”
“Ada apa, Ma? Astaga,
Rahmi!” Wajah Papa tampak sangat panik melihat kondisi Rahmi, “Ayo, Ma! Kita
segera ke Rumah Sakit!”
***
Ia duduk di kursi roda, di ujung koridor lantai 5 Rumah
Sakit. Tatapannya jauh, menembus kaca jendela di hadapannya. Burung-burung
menari indah di luar sana. Terbang kesana kemari bersama kawanan yang banyak
sekali. Suara merdunya masih terdengar meski tarhalang kaca jendela. Seolah sebuah
perayaan menantikan hujan yang akan datang sebentar lagi. Ya, langit biru sudah
tak tampak lagi. Semua dipenuhi awan kelabu, pekat dan tebal. Siang ini gelap
sekali. Sama gelapnya dengan air mukanya. Muka yang tirus, dengan bibir
pecah-pecah dan kelopak mata kehitaman. Kepalanya botak, badannya kurus kering. Tak ada kecerahan, tak ada keceriaan. Walaupun kemarin baru saja ia berulang tahun ke-27.
“Assalamu'alaykum.” Seorang
gadis menyapanya dari belakang. Usianya sekitar 22 tahun. Sepertinya masih mahasiswa tingkat akhir atau mungkin baru lulus.
“Wa'alaykumussalam.” Jawabnya
singkat. Hanya menoleh sedikit, lantas kembali melihat pemandangan di luar
jendela sana.
“Indah ya?” Gadis itu
mencoba akrab dengan wajah yang ceria. Tak ada jawaban. Hanya hening.
“Lagi murung ya?
Kenapa?” Gadis itu kembali lagi bertanya. Namun lagi-lagi ia tak mendapatkan
jawaban. Hanya diam.
“Aku ingin punya sayap
seperti mereka. Pasti seru! Aku ingin terbang tinggiiiiii setinggi-tingginya.
Sampai menembus awan gelap itu. Lalu berteriak sekeras-kerasnya. Hahaha.”
“Jangan berharap
macam-macam.” dia mulai berkata, pelan sekali, nadanya datar, “Berharap yang
wajar saja belum tentu dikabulkan Tuhan.” berhenti sejenak.
“Ketika kau tahu,
hidupmu hanya sebentar lagi, apa lagi yang akan kau harapkan dari Tuhan?” lanjutnya.
“Ketika sahabat-sahabatmu datang menjenguk. Bukan mendoakan agar kau sembuh,
agar kau segera bisa berkumpul bersama lagi. Namun mereka mendoakan agar kau
kuat menerima takdir yang diberikan Tuhan. Lalu untuk apa berharap macam-macam?
Karena Tuhan tak memberikan apa yang kamu minta, tapi Dia memberikan apa yang
Dia kehendaki.”
“Bagaimana mungkin
seorang dokter mengidap penyakit mematikan? Aku yakin pertanyaan-pertanyaan itu
pasti ada ketika mereka semua menjengukku. Seseorang yang profesinya menyembuhkan
orang lain, justru tak mampu menyembuhkan dirinya sendiri. Gagal… Aku gagal.”
“Kau lihat wajah-wajah belas kasihan yang
mencoba tertawa menghibur, padahal dari hatinya paling dalam ada rasa takut,
mengerikan. Bukan takut akan kehilangan seorang sahabat yang mereka cintai,
namun takut jika hal serupa terjadi pada dirinya juga.” lanjutnya.
“Berapa lama lagi kata
dokter?” gadis itu bertanya di sela-sela kalimat panjangnya.
“Sekitar 3 bulan.”
jawabnya singkat. Menghirup napas dalam-dalam. Lantas terdiam. Tak lagi
melanjutkan ceritanya.
“Bagaimana dengan Mba Azka?”
“Bukankah sudah
kubilang, cinta sejati itu tidak ada, dan tidak akan pernah ada. Cinta itu
hanyalah pemanis cerita dalam film-film saja. Cinta itu hanya datang ketika kau
sehat, kuat, berkecukupan. Dan akan hilang dengan sendirinya ketika semuanya
tak lagi ada.”
“Jadi dia benar-benar
tak pernah datang lagi setelah tahu Mas mengidap kanker?” Dia hanya diam.
Mungkin jawaban sebelumnya sudah cukup jelas untuk pertanyaan ini. Diantara
mereka hanya ada suara gemuruh dan rintik-rintik hujan yang mulai turun.
Perlahan semakin deras menerpa atap-atap, suaranya pun semakin keras.
“Astaghfirullahal’azhiiiim!”
Gadis itu memejamkan mata, menundukkan kepala. Seketika itu kilat menyambar,
memancarkan kilauan terang, menjalar di luasnya awan kelam. Tak berselang lama,
suara gemuruh terdengar hebat. Lagi-lagi membuatnya takut.
“Mas Naufal tidak takut?”
gadis itu melihat tak ada ketakutan di wajahnya. Seolah sudah habis rasa takut
itu, karena ketakutan paling mengerikan sudah di depan mata, kematian.
“Bagaimana kamu tahu
namaku?” kali ini ia menoleh, menatap wajah gadis itu, penuh penasaran.
“Aku tahu. Naufal… Dokter
Naufal. Aku tahu.” Gadis itu tersenyum manis, “Namaku Rahmi.” Mereka saling
bertatapan. Sesekali wajah keduanya menjadi sangat terang dengan kilauan cahaya
petir dari luar jendela.
Mereka
memang pernah bertemu sebelumnya. Di Rumah Sakit ini juga, tepatnya di taman
pekarangan Rumah Sakit ini. Ketika itu
Rahmi sedang menunggu kedua orangtuanya yang sedang menebus obat di Apotek
Rumah Sakit. Namun mereka tak saling berkenalan satu sama lain. Percakapan
mengalir begitu saja. Tanpa tahu dengan siapa mereka berbicara. Ketika itu
pertemuan mereka cukup singkat. Rahmi harus segera pulang setelah orangtuanya
datang.
***
“Aku tahu aku akan
bertemu dengan seseorang di taman waktu itu. Dan juga saat ini. Aku tahu.”
Rahmi kembali menatap ke arah luar jendela kaca itu. Namun Naufal tetap
melihatnya. Justru membuatnya semakin penasaran.
“Apakah pantas sedih dan putus harapan hanya karena vonis dokter sisa hidup tinggal 3 bulan lagi? Kamu
begitu yakin dengan dokter, Mas. Kamu begitu yakin dengan ilmu kedokteranmu itu. Bahkan
melebihi keyakinanmu terhadap Tuhan. Seolah dokter itu diberikan gift oleh
Tuhan sehingga mampu melihat masa depan.” berhenti sejenak, “Kamu tahu, Mas, yang tua
belum tentu akan pergi duluan, dan yang sakit belum tentu akan mati duluan.
Semua atas kuasa-Nya.”
“Aku…yang kamu lihat
sehat seperti ini, ceria seperti ini, dan juga lebih muda darimu, bisa saja
mati duluan. Lusa, mungkin. Dan kamu, bisa saja justru sembuh total dan bebas
dari kanker, lalu kembali seperti dulu.” lanjut Rahmi.
“Tak ada yang tahu kan?
Disitulah menariknya hidup, ketika kamu tak pernah tahu rahasia masa depan,
semua hanyalah dugaan dan prediksi. Indahnya hidup adalah ketika masa depan itu
datang di luar dugaan. Tugas kita hanyalah sabar dan ikhlas menjalaninya. Dan
tentang harapan, Tuhan memang tidak akan memberikan apa yang kamu minta, tetapi
apa yang kamu butuhkan.”
“Aku tak butuh penyakit
ini.” Naufal langsung memotong Rahmi, “Aku tak butuh…”
“Kamu butuh!” nadanya
agak keras, mungkin terbawa emosi, “Kamu butuh, Mas...” Rahmi mengulangi lagi dengan
nada yang lebih lembut, ia mulai mengontrol emosinya, “Kamu butuh penyakit agar
kamu tahu betapa nikmatnya kesehatan. Kamu butuh kegagalan agar kamu tahu
betapa nikmatnya kesuksesan. Dan kamu butuh ditinggalkan cinta agar kamu tahu
betapa sakitnya diperlakukan seperti itu sehingga kamu tidak mau melakukan hal
yang sama kepada orang lain.” Ia menghela napas, “Kamu butuh, Dokter Naufal. Agar
esok, lusa, dan seterusnya, kamu bisa bersyukur akan setiap nikmat yang Tuhan
berikan.” Rahmi membalikkan badannya, menandai akhir pembicaraan mereka.
Hujan
tampak sudah berhenti. Awan hitam mulai digiring oleh angin untuk beranjak menepi,
memperlihatkan biru muda dengan berkas cahaya kekuningan yang indah. Jam sudah
menunjukkan pukul 17.00. Sudah sore memang. Saatnya Rahmi pulang. Mama dan Papa
pasti sudah menunggu di rumah. Kali ini dia ke Rumah Sakit bukan karena sakit,
namun karena ingin bertemu kembali dengan Naufal.
“Hey…” Naufal memanggil,
menghentikan langkah Rahmi yang hendak pulang, dan berbalik ke belakang. “Terima
kasih…” Ucap Naufal. Untuk pertama kalinya Naufal memberikan senyuman dari bibir
pucatnya itu. Rahmi juga tersenyum lembut, tulus, lantas melambaikan tangan
tanda perpisahan.
***
Ia
duduk di kursi roda yang sama. Kali ini di taman pekarangan Rumah Sakit lagi. Suara
burung-burung berkicauan terdengar jelas, langsung tiada batas. Sesekali angin
datang menggoyangkan pohon besar di taman itu, membawa jatuh dedaunan kuning
yang sudah layu dari rantingnya. Pagi ini cerah sekali. Sinar mentari menyapa
kulit keringnya yang sedikit mengkerut itu. Hangatnya terasa sampai ke tulang,
karena hampir tak ada daging yang membatasi tulang dan kulitnya. Akan tetapi, setidaknya
kondisinya hari ini lebih baik. Ini hari kedua setelah pertemuannya dengan
Rahmi di koridor lantai 5. Ia memejamkan mata, menghirup napas panjang,
dalam-dalam. Nasihat Rahmi benar-benar memberikan harapan baru baginya.
Tiba-tiba
ada suara keras sekali, membuatnya terkejut. Seketika matanya terbuka, wajahnya
menoleh ke arah datangnya suara. Itu suara seorang Ibu yang turun dari mobil, berteriak
histeris memanggil perawat dan dokter. Dari pintu supir, keluar seorang bapak
yang bergegas membuka pintu mobil bagian belakang, menggendong seseorang yang
lemah terkulai, perut dan dadanya tak bergerak sama sekali. Sepertinya ia sudah
tak bernapas lagi. Naufal mendekat, semakin memperhatikan wajahnya, terasa
seperti mengenal seseorang itu. Rahmi!
[“Aku…yang
kamu lihat sehat seperti ini, ceria seperti ini, dan juga lebih muda darimu,
bisa saja mati duluan. Lusa, mungkin…”] – masih teringat, tepat
dua hari yang lalu.
***
13 Mei 2017
Terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat dengan indera keenam
Napasnya sesak ketika melihat masa depan yang buruk
Terinspirasi dari kisah nyata seorang sahabat dengan indera keenam
Napasnya sesak ketika melihat masa depan yang buruk
Tidak ada komentar :
Posting Komentar