Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Perseverance


Sebuah kenangan indah masa SMA, 2010
When perseverance made you falling in love


[Ingatan]
“Arsan janji, Bu. Arsan akan bawa nama SMA ini ke olimpiade sains nasional. Tahun ini nggak ada satupun yang lolos. Tapi tahun depan, minimal dua dari tiga perwakilan provinsi dari SMA ini. Arsan janji, Bu.” wajahnya serius, Nampak sangat meyakinkan, penuh percaya diri.

“Hahaha.. Arsan.” Bu Irnawati mengusap-usap bahunya sambil tersenyum, “Kamu ini mirip sekali dengan murid Ibu, Syafniwati. Sekarang dia sudah jadi Professor Kimia Analitik di universitas ternama. Ibu percaya, kamu pasti bisa. Nanti kalau kamu lolos di tingkat kota, kamu akan dilatih sama Bu Syafni, jangan lupa sampaikan salam Ibu untuk beliau. Ibu yakin kamu pasti akan jadi orang besar seperti Syafniwati, atau bahkan bisa lebih hebat lagi. Ibu percaya.”
***



“Woy!!” seseorang memecah sepi, menghentikan lamunannya, ingatan itu buyar dan hilang. “Sendirian aja, bro. Yuk ikutan main futsal. Pada dikit nih yang dateng.”

“Yah…masa gue rapi gini pake kemeja mau main futsal, kagak pantes.” jawab Arsan memperlihatkan setelannnya yang rapi dengan kemeja namun tetap masih trendy dengan jeans dan sepatu berwarna biru putih.

“Emangnya lo mau ngapain? Pagi-pagi gini, hari minggu, olahraga dong biar sehat.” ia menepuk bahu kanan Arsan lantas melingkarkan tangannya ke sisi bahu kiri agar semakin akrab.

“Arsan?” suara langkah kaki datang mendekat. Suaranya lembut, jelas itu suara perempuan. Membuat dua laki-laki itu terhenti dalam percakapannya, fokus memperhatikan siapa yang datang.

“Hai!” jawab Arsan, ia tersenyum lebar, seperti sudah sangat menanti-nantikan kehadiran siswi ini.

“Oh… ini toh yang bikin seorang Arsan rela datang pagi-pagi, nunggu lama sendirian, hari minggu pula. Padahal pas masuk sekolah datangnya telat mulu nih si Arsan. Ternyata… mau ngedate.”

“Hahaha…Trus kenapa? Udah sana lo pergi! Jangan gangguin kita.” Arsan melepaskan tangan Rezki yang masih menempel di bahu kirinya, lantas mendorongnya menjauh. Untungnya badan Rezki yang besar cukup kokoh menahan dorongan Arsan, ia hanya dibuat mundur sekitar tiga langkah.
***

“Nah, mantap! Tuh kan bisa. Aku nggak percaya dengan bakat, semua pasti bisa kalau mau dan dilatih. Buktinya, kamu bisa kan. Padahal dulu kamu sering banget bilang aku nggak bakat kimia, aku nggak bisa kayak kamu, kamu pinter banget kimia.” ia tertawa dan berhenti sejenak, “Sekarang gimana? Masih bilang nggak bakat, masih bilang nggak bisa?” ia tersenyum, mereka saling tatap, tiba-tiba tak ada suara, bahkan suara angin lebih keras terdengar menyapu dedaunan kering.

Mereka memilih berduaan di taman, di bawah pondok berbentuk jamur besar dengan empat kursi cukup panjang membentuk persegi dan meja di tengah-tengahnya. Mereka duduk tak saling berhadapan, melainkan di satu sisi kursi saja. Sangat dekat. Tadinya Arsan duduk di sisi yang membentuk sudut siku-siku dengan Anna, siswi yang sedari tadi pagi ia tunggu. Belajar bersama, latihan soal-soal olimpiade kimia, lebih tepatnya Arsan yang melatih Anna. Dan sepertinya pindah kursi tepat di samping Anna membuat Arsan lebih nyaman mengajari Anna, tulisan dan penjelasan Arsan lebih mudah dibaca Anna karena satu arah.

“Makasih ya, San.” Anna tersenyum manis, pelan sekali, “Makasih udah percaya. Bahkan sampai sekarang aku masih belum percaya aku akan bisa lolos sampai olimpiade sains tingkat kota, apalagi mewakili provinsi ini di tingkat nasional.” Arsan hanya tersenyum, seolah tak ada kata yang perlu terucap, cukup satu senyuman, cukup.

“Dan ini aku bisa, itu karena ada kamu, San. Hahaha. Karena setiap aku mulai pusing, kamu selalu tahu, dan kamu pasti ngasih clue. Clue itu yang bikin aku bisa. Jadi kalau disuruh sendirian di rumah ngerjain soal ini aku pasti akan stuck, trus tidur atau nonton. Hahaha.”

“Kan itu sekarang. Tenang, masih ada waktu dua bulan lagi. Kamu lahir nggak langsung bisa jalan kan? Yang terpenting, kamu mau untuk bisa berjalan dan ada orang yang bimbing kamu, memegang tangan kamu agar kamu nggak jatuh. Tapi apa selamanya kamu berjalan dipegangin? Nggak kan? Begitu juga aku, aku kasih clue biar kamu nggak pusing dan bosan belajar kimia ini. Tapi percayalah, dua bulan ke depan kamu pasti bisa tanpa bantuan aku lagi.” Mereka kembali diam. Hening. Kali ini bukan saling bertatapan, namun kompak sama-sama memandangi luasnya rumput hijau dan dedaunan yang sibuk menari kesana kemari disapu angin. Arsan kali ini sengaja untuk diam, agar nasihatnya sampai, dicerna perlahan oleh Anna.

“Woy!!” Tiba-tiba Rezki datang lagi menghampiri, memecah keheningan diantara mereka. Kali ini Rezki tak sendiri, ia datang bersama teman-teman yang lain usai bermain futsal. Wajah Rezki dan teman-temannya terlihat memerah, keringat bercucuran di sekujur tubuh membuat baju mereka basah dan lengket.

“Cieee…” salah seorang menyahut.

“Ehe..eheeemmm..” datang lagi sahutan baru.

“Uhuk, uhuk, uhuk.” dan ada lagi yang berpura-pura batuk.

“Senin sampai sabtu belajar. Kirain minggu bakalan nonton kek, makan kek, ini pacaran tetep aja belajar. Haduuuh…”

“Siapa yang pacaran??” Arsan mulai berbicara diantara keributan-keributan mereka. Sepertinya dia mulai risih dengan kehadiran mereka.

“Di kelas berduaan, di luar kelas berduaan. Masa nggak pacaran? HTS ceritanya? Hahaha.” Salah seorang bernama Rivan ikut berbicara, lantas membuat semuanya tertawa.

Memang akhir-akhir ini Arsan dan Anna sering berdua, apa lagi kalau bukan untuk persiapan olimpiade sains tingkat kota. Pada awal pelatihan olimpiade yang diadakan secara resmi oleh sekolah, ada sekitar 18 orang yang terdaftar sebagai peserta persiapan olimpiade kimia. Namun seiring berjalannya waktu, istilahnya ‘seleksi alam’ membuat satu persatu hilang dan tidak lagi hadir. Alasannya sama, kimia itu sulit, dan masih asing bagi anak-anak SMA tidak seperti fisika dan biologi yang familiar karena sudah dipelajari dari SMP. Dan orang terakhir dari seleksi itu adalah Anna. Oleh karena itu, sebagai ketua tim persiapan olimpiade kimia, Arsan sangat mempertahankan Anna agar tidak terbawa arus seleksi alam tersebut. Ia rela berjuang agar dia dan Anna bisa lolos olimpiade sains tingkat kota dan provinsi sebagai perwakilan di ajang olimpiade sains nasional. Janjinya pada Bu Irnawati selalu teringat.
***

            “Anna.” Bu Irnawati memanggilnya dari lorong kelas. Anna baru saja keluar kelas, mata pelajaran di kelasnya baru saja usai. Sepertinya dia hendak pergi ke kantin, tetapi mendengar panggilan Bu Irnawati, Anna pun berbalik dan menghampiri.

“Ini ada undangan buat kamu.” Bu Irnawati memberikan sepucuk amplop putih dengan kop resmi dari dinas pendidikan kota. Tertulis pula di bawahnya tujuan surat dengan nama Anna Lestari.

“Ini apa, Bu?” amplop surat itu sudah dalam genggamannya sambil dibolak-balik, penasaran.

“Kamu buka saja. Nanti juga tahu.” Bu Irnawati semakin membuat Anna penasaran ingin segera membukanya, “Oh iya, sebentar.” amplop tersebut hampir saja terbuka, “Arsan mana ya? Dari tadi Ibu tidak lihat dia keluar kelas.”

“Yah…ibu, saya kira kenapa sebentar, kirain nggak boleh dibuka amplopnya. Hahaha.” Anna tertawa, sambil meneruskan membuka amplop, “Arsan kayaknya di dalam kelas deh, Bu. Tadi aku lihat main kartu sama Rezki dan yang lain.”

“Oh…ya sudah, ini ada satu lagi surat buat Arsan. Ibu titip ke kamu saja ya.” Bu Irnawati kembali memberikan sepucuk amplop surat yang sama persis dengan yang diberikan ke Anna, hanya berbeda pada nama tujuannya saja.

“Dengan ini…” surat itu perlahan dibacanya, “kami mengucapkan selamat atas pencapaian saudara meraih peringkat 2 olimpiade sains tingkat kota bidang kimia. Kami mengundang saudara untuk mengikuti pelatihan olimpiade tingkat provinsi…..”

“ARSAAAAAN!!!!” sontak ia berteriak sekeras-kerasnya. Bu Irnawati yang masih belum jauh berjalan pun langsung berhenti, terkejut, dan menoleh ke arah Anna. Semua orang di dalam kelas langsung berhamburan ke luar, termasuk Arsan. Semua orang terkejut dan penasaran apa yang terjadi. Anna pun tak hanya diam. Melihat Arsan, ia langsung  berlari dan langsung memeluk Arsan erat. Matanya terbuka, namun ia seolah tak melihat siapapun di sekitarnya selain Arsan. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Benar-benar mengejutkan, bahkan siswa siswi yang berpacaran di sekolah ini pun hanya perpegangan tangan, atau sesekali merangkul itupun jarang. Lazimnya gaya berpacaran disini hanya berdua-duaan kemana-mana. Itu saja. Namun kali ini Anna dan Arsan mempertontonkan kejadian luar biasa di sekolah ini, bahkan tanpa status pacaran.

Arsan malu dilihat semua orang, termasuk Bu Irnawati, namun dia tak tahu harus bagaimana. Tangannya terbuka, tak membalas pelukan Anna. Ia hanya bisa membiarkan Anna meluapkan kegembiraannya.

“Arsan, kamu berhasil! Kamu berhasil membuat aku juara 2 dan lolos ke tingkat provinsi. Kamu benar, usaha tak akan pernah mendustai hasil. Makasih. Makasih banyak, San. Aku sayang kamu, Aku sayang kamu, San.” kalimat itu keluar dengan sendirinya. Begitu saja. Anna benar-benar tak sadar suaranya cukup keras dan terdengar oleh semua orang, membuat semua orang terperanga. Membuat iri pasangan-pasangan yang sekedar perpegangan tangan yang jadiannya hanya sembunyi-sembunyi, bahkan lewat telepon. Apalagi para jomblo, mereka hanya bisa menikmati nasib.

“Sama-sama, Anna... Sama-sama.” jawab Arsan berbisik, bibirnya tepat di telinga Anna, yang masih erat memeluknya. Mata Arsan tertuju pada Bu Irnawati, begitupun Bu Irnawati yang sedari tadi menatap Arsan, lantas tersenyum dan mengacungkan jempol untuk Arsan. Arsan ikut tersenyum dan tangan kanannya ikut mengacungkan jempol. Sementara tangan kirinya tetap pasrah terkulai, terbuka, masih sama seperti awal.
*** 




19 Desember 2016

Tidak ada komentar :

Posting Komentar