Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Graduation

25 Sept 2016
Sebuah pertemuan antara kebahagiaan dan kesedihan

[Ingatan]
“Karna kamu perempuan paling cantik yang pernah aku temui. Jujur, sangat sulit bagiku melupakan wajahmu. Ini bukan rayuan, ini bukan gombalan. Sungguh. Kamu selalu ada dalam mimpi indahku.”


Hari ini akhirnya tiba. Entah tak tahu apa yang terasa. Orang bilang, hari ini adalah hari kebahagiaan, hari kebanggaan, hari pembuktian atas sebuah perjuangan panjang nan melelahkan. Apakah benar? Tidak. Justru aku takut akan datangnya hari ini. Hari ini laksana pintu dari sebuah ruang indah. Aku tak tahu apa yang akan terjadi kala aku harus membuka pintu itu, sedang aku tak lagi bisa menutupnya jika raga ini merasa tak mampu untuk pergi. Bagiku ruang ini begitu istimewa, memberikan kenyamanan untuk berlama-lama. Namun ruang ini harus segera dikosongkan. Tiada guna juga aku disini. Karna ruang ini menjadi indah dengan adanya dirimu dan para sahabat.

Hari ini begitu berat. Mata ini tak ingin terbuka menatap dunia baru. Benak ini senantiasa dipenuhi kekhawatiran akan terulang kembali kisah 4 tahun yang lalu. Akankah kita tetap sama? Tidak. Tidak akan. Tidak akan mungkin. Setiap insan selalu hidup dengan warna yang sama dengan lingkungannya. Setiap makhluk hidup akan terus berubah untuk beradaptasi. Mereka sahabat karibku, dan dia pangeran di hatiku, kala itu. Ya, hanya sampai saat itu. Hari yang sama bernama “Graduation”. Hari yang memecah belah sebuah ikatan. Hanyalah kebohongan yang terucap menjalin hubungan jarak jauh. Percayalah, semua pasti akan sirna seiring berjalannya waktu ketika pertemuan itu tak lagi ada. Dan sekarang mereka, dan juga dia, hanya tinggal kenangan dalam bingkai foto.

Masih lekat dalam ingatanku, dahulu aku dan mereka sangat akrab, tak ada jarak sedikitpun. Semua ucapan lepas dari dalam hati, tanpa ada yang tertutupi. Tawa canda, terbahak-bahak, saling mencaci, itu biasa. Justru itu yang semakin mempererat sebuah persahabatan. Namun 6 bulan sudah cukup membuat kami saling segan, bahkan untuk berkomentar di sosial media pun harus berpikir berulang kali. Mereka tampak lebih bahagia dengan dunia barunya.

 Begitupun dia, Baginda Armada, panggilannya Bagin. Dia yang pernah singgah di hati ini saat itu. Kalimat yang masih jelas terngiang di telinga ini. Kala ia mengatakan aku yang paling cantik yang pernah ia temui. Benar. Memang benar. Namun hari itu membukakan pintu baginya untuk menemui perempuan lain yang lebih cantik. Lantas apakah aku harus marah padanya? Tidak. Bukan dia yang salah. Yang salah adalah hari itu. Hari kelulusan yang menggembirakan, namun kenyataannya adalah hari perpisahan nan menyedihkan.

Dan hari ini pun pasti akan sama. Ingin rasanya aku membunuh waktu, namun tak bisa, aku tak tahu dimana wujudnya. Ingin rasanya aku mengunci rapat pintu perpisahan ini, namun tak mampu, semua orang sangat menantikan terbukanya pintu ini. Mungkin hanya aku yang tak bahagia di hari ini. Kejadiannya akan terulang sama. Seolah hati ini diciptakan hanyalah untuk dipermainkan oleh sang waktu.

Dan kalimat yang sama terucap darinya, Sultan Adidaya. Dia ada di ruang ini. Ruang yang akan segera terbuka dengan acara yang dinamakan “Wisuda Sarjana”. Dia tak pernah berhenti mencari cara untuk mendekatiku. Aku tak pernah mengiyakan permintaannya untuk menjadi pacarku. Sebab tak lagi ada kepercayaan tentang kalimat itu, bahwa aku yang paling cantik yang pernah ia temui. Ah…tak ada lagi kah alasan lain untuk mencinta selain itu? Karna di luar sana masih banyak yang lebih cantik. Hanya menunggu waktu yang mempertemukan. Akan tetapi, Adi, sapaan akrabnya, bukanlah orang yang mudah menyerah dan putus asa. Ia selalu gigih untuk setiap perjuangan, misalnya mendapatkan nilai A, meraih predikat cum laude dan IPK tertinggi. Termasuk berjuang mendapatkan cintaku, dia tak pernah lelah. 
***

“Hai…” suara setengah berbisik, bibirnya tak jauh dari telingaku. Aku segera menoleh ke kanan, arah datangnya suara itu.

“Adi? Sendirian aja?” aku tak melihat siapapun di dekatnya. Tak biasanya. Aku tahu betul dia orang yang tak suka menyendiri, dia punya banyak sahabat. Atau setidaknya dia pasti mengundang kedua orangtuanya. Karena aku juga datang didampingi orangtua.

“Halo om, tante.” Dia segera menyalami kedua orangtuaku. Tanpa menjawab pertanyaanku. “Kenalin, aku Adi.” sambungnya. Sepertinya papa mama heran siapa laki-laki ini. Aku selalu menceritakan kepada mereka jika aku punya pacar. Dan yang mereka tahu, pacar terakhirku adalah Bagin.

“Oh iya om, tante, dan… Tina.” Ia tersenyum, menatapku lama… , “Coba deh lihat ke atas sana.” dia menunjuk lantai 4 sebuah gedung di belakang kami.

T I N A   I  L O V E  U

Pantas saja ia sendiri, sepertinya semua ini telah direncanakan oleh sahabatnya. Spanduk besar tertampang dikelilingi bunga-bunga. Indah sekali. Reflek saja telapak tangan ini menutupi mulut yang ingin tersenyum lebar. Hati yang resah akan hari ini seolah berubah, bunga-bunga itu terasa masuk dan tumbuh dalam sanubari. Akankah dia melamarku? Aku kenal betul dia lelaki yang baik. Dan hanya menikah satu-satunya cara untuk terus bersama, ketika pintu perpisahan ini terbuka maka kita akan tetap bertemu. Kita akan tetap bersama menjalani dunia baru.

“Tina…” ia lagi-lagi menatapku dalam, “Maukah kamu menjadi pendamping hidupku?” sebuah kotak cincin keluar dari genggamannya, dan terbuka. Kedua tanganku tak bergerak, masih saja menutupi senyuman yang semakin lebar ini.
***

Aku masih saja tersenyum, terbayang wajahnya tadi siang. Masih di hari yang sama. Tak bosan-bosan aku memandang cincin yang melekat di jemari ini. Hingga aku tak sadar telepon genggam dari tadi sudah berbunyi. Ada yang menelepon. Adi.

“Hai..” suaranya singkat.

“Hai..” mataku terpejam dan terbelalak. Rasanya tak karuan.

“Aku lagi lihatin foto kita tadi.” dia berhenti sejenak, “Kamu makin cantik.” membuatku semakin tak karuan. Senang luar biasa.

“Oh iya. Aku ada kabar gembira.” Ia membuatku penasaran.

“Oh ya? Apa tuh?”

“Aku keterima program master di Harvard University!!!” dia berteriak dari balik telepon, “Dan aku akan berangkat dalam minggu depan!!!”
Aku hanya terdiam. Cukup lama. Mataku tak lagi terpejam. Termenung.

“Hallo? Tina?” suara dari balik telepon, “Tina?” aku masih terdiam.

“La, la…lu…k..ki..ta?” terbata-bata, mencoba ingin memperjelas keadaan.

“Kita? Kita akan menikah setelah aku lulus master nanti. Sepulang aku dari sana!!!” suaranya gembira sekali. Tak tahu dia bahwasanya tangan ini sudah lemah menggenggam telepon. Sedang bibir tak mampu lagi berbicara. Semudah itu dia berkata. Seolah tak akan ada perempuan lain yang lebih cantik di luar sana.

“Tina? Kamu baik-baik aja kan?” hanya kalimat itu yang terakhir aku dengar. Telepon itu terlepas dari genggamanku.

Lagi-lagi waktu mempermainkan perasaan ini. Ia membuat hari ini berbeda dari 4 tahun lalu. Menerbangkanku terlebih dahulu lantas menghempaskan dengan teramat keras. Mataku langsung tertuju pada cincin di jemari ini. Tak butuh waktu lama aku merenggutnya lantas membuangnya jauh ke luar jendela, “AKU BENCI HARI INI!!!! AKU BENCI!!!!”
***


Tidak ada komentar :

Posting Komentar