Selasa,
20 September 2016
Ananda tersayang,
Apakah hidup itu selalu
harus memilih?
Apakah
kesuksesan itu tak bisa bersanding dengan keluarga?
Apakah
selalu ada yang harus dikorbankan?
Jikalau
itu sebuah pilihan, mengapa kau tak memilih keluarga?
Apakah
kesuksesan lebih membuatmu bahagia?
Ibu
tak menyalahkanmu nak,
Ibu
hanyalah mengutuk sang waktu,
Yang
begitu kejam tak memberimu kesempatan untuk bersama Ibu
Ia mengambil sebuah syal
tak jauh dari meja itu. Syal tersebut dibelikan oleh Nanda ketika ditugaskan
oleh perusahaannya selama sebulan di Belanda. Segera syal itu menyerap air mata
yang sudah tak mampu lagi ditampung oleh kelopaknya. Tangannya gemetar,
tak kuasa ia menulis lagi. Syal itu digenggam erat menutupi hampir seluruh
wajahnya. Semua air mata ia biarkan terus keluar. Tak setetespun jatuh membasahi lembaran kertas yang baru tertulis seperempat halaman itu. Satu menit. Lima menit. Tiga
puluh menit. Wanita paruh baya itu mulai kembali tenang. Mencoba mengambil napas dalam-dalam. Ia taruh syal tersebut
dan kembali menggenggam pena.
Anandaku,
Andai waktu bisa
terulang, kalimat doa itu tak akan ibu utarakan kehadirat Sang Maha Pengabul
Doa.
Namun tak mungkin..
Tak akan mungkin Ibu tega meruntuhkan mimpi besarmu
Tak akan mungkin Ibu tega meruntuhkan mimpi besarmu
Nak, perjuangan menggapai mimpimu memang berat.
Tapi nak, buah hasil
perjuangan itu jauh lebih berat.
Ibu tak inginkan rumah
nan mewah, megah, luas dan indah.
Ibu tak inginkan
berlian dan emas berbongkah-bongkah.
Yang ibu inginkan
hanyalah waktu bersamamu.
Ibu rindu senyuman manjamu,
yang mampu menyeka letih
Ibu rindu mendekapmu, yang
mampu meredam sedih
***
Pandangannya sejenak
tertuju pada sebuah bingkai foto wisuda lima tahun silam. Membawa kembali pada
ingatan masa itu, “Bu, makasih banyak
susah payah berjuang nyekolahin Nanda. Nanda janji akan membalas semua perjuangan
Ibu dengan kesuksesan. Nanda janji ibu ngga akan kerja keras lagi jualan.
Pagi-pagi buta masih gelap gulita ibu beli semua bahan, lalu memasak, lalu
ketika mulai terang dagangan pecel, ketoprak dan lontong sayur sudah siap. Siang
sampai malam lapak langsung berubah jadi warung nasi. Hahaha.” Ia tersenyum
membayangkan tawa tulus dari Nanda. Tawa yang sangat ia rindukan. “Pokoknya masakan ibu yang paling enak
sedunia itu hanya buat Nanda aja ya. Ibu pokoknya ga usah jualan lagi. Hahaha.”
Masih jelas dalam benaknya
ketika itu ia memberikan kejutan surat tanda diterima bekerja di perusahaan asing
bermarkas utama di Belanda namun sudah memiliki cabang di berbagai negara,
termasuk Indonesia. Seringkali Nanda pergi ke Belanda meninggalkan Ibu, baik
untuk training di awal-awal tahun ia bekerja, hingga kini untuk meeting
menyusun strategi perusahaan.
“Teng…teng….teng”
Dentuman jam berbunyi membuyarkan kenangan-kenangan. Tepat pukul 18.00, pertanda senja akan segera berakhir.
Wanita 55 tahun itu segera menaruh kembali foto di dekat selembar kertas itu.
Pandangannya tertuju ke luar jendela. Bayang-bayang merah mulai tergantikan
oleh kegelapan. Nanda masih belum pulang. Dalam benaknya teringat suara dari
balik telepon beberapa hari yang lalu, “Bu,
aku pulang tiga hari lagi ya. InsyaAllah pagi sudah sampai rumah. Aku kangen
deh masakan Ibu. Udah dua minggu makan makanan Belanda mulu.” Dan hidangan spesial
itu… Harus ikhlas untuk terbuang. Rugi? Bagi Nanda uang untuk masakan itu tidak
seberapa. Ya sudahlah. Ia segera berwudhu untuk sholat maghrib.
Jam menunjukkan pukul
22.00. Ia melihat telepon genggam, tak ada panggilan telepon, tak ada pula
balasan SMS. Sudah biasa. Dan mulai bermunculan asumsi-asumsi. Mungkin dia
sedang tidak ada sinyal. Mungkin penerbangannya diundur. Mungkin dia masih ada
kerjaan. Mungkin tugas kerjanya ditambah satu minggu lagi. Mungkin dia
ditugaskan ke negara lain. Mungkin dia terlalu sibuk. Dan mungkin dia lupa… ada
seorang Ibu yang menantikannya di dalam rumah… seorang diri. Ya sudahlah. Ia
segera menarik selimut untuk tidur.
***
“Pagi
ibunda tersayang!!” Teriaknya dari meja makan melihat Ibu keluar dari balik
pintu kamarnya. Sepertinya pintu kamar itu tidak tertutup. Mungkin tadi Nanda masuk untuk melihat sang ibu yang ditinggalnya hampir satu bulan.
“Pasti masakan ini ibu bikin kemarin. Hmmm…tapi masih enak sih. Barusan aku angetin dikit.” Dengan tertatih, ibu segera menuju meja makan memeluk Nanda, “Kamu bilang kemarin pagi, kok baru datang?”
“Pasti masakan ini ibu bikin kemarin. Hmmm…tapi masih enak sih. Barusan aku angetin dikit.” Dengan tertatih, ibu segera menuju meja makan memeluk Nanda, “Kamu bilang kemarin pagi, kok baru datang?”
“Hahaha. Aku udah yakin, pasti ibu lupa
hari. Aku kan nelponnya hari minggu. Tiga hari lagi itu maksudnya ya hari rabu,
Bu. Ini kan hari rabu, kemarin itu hari selasa.” Nanda menunjukkan kalender
dari telepon genggamnya.
“Oh iya ya? Haduh…ibu saking kangennya
sama kamu. Dua puluh hari ibu sendirian aja di rumah.” Ibu mengusap-usap
dahinya, “Liburnya berapa hari? Hari ini aja?”
“Hmm…harusnya hari ini ntar siang ke
kantor lagi, Bu. Tapi males ah. Pengen di rumah aja. Hahaha.”
“Iya… Udah 20 hari kamu di Belanda. Masa
libur sehari aja ga bisa.”
“Jangankan sehari, selamanya juga bisa.”
“Ah…kamu ini, emang jago kalau merayu.”
***
“Kamu ngga kerja lagi hari ini?” sudah
tiga hari Nanda hanya pergi sebentar dengan pakaian biasa.
“Kita pergi yuk, Bu.” ajak Nanda. Hanya
mengalihkan, ia tak menjawab pertanyaan Ibu sebelumnya.
“Emangnya mau pergi kemana? Kamu mah
kalau ajak ibu pasti ke mall beliin ibu baju, kalung. Sudahlah… ibu bosan. Toh
baju-baju ibu sudah banyak, keluar rumah palingan cuma acara arisan, itupun cuma
sekali sebulan.”
“Nggak kok. Kali ini aku mau ajak ibu ke depan komplek. Ga jauh kok, kita jalan kaki aja.”
“Emang ada apa di depan komplek?” Ibu
penasaran.
“Ada restoran yang mau dibuka.”
“Oh ya? Kok ibu baru denger. Emang
masakannya bakalan lebih enak dari masakan ibu?”
“Hmm…kayaknya bakalan sama. Nih fotonya.”
CAFÉ DAN RESTO
ANANDA
“Lho? Nama restorannya sama kayak nama
kamu.”
Nanda tak berkomentar soal itu, ia hanya memberikan dua lembar kertas, “Oh iya, ini ada surat buat Ibu.”
“Su…rat… re…sign?” ibu mengeja perlahan pada kertas pertama lantas mencerna sejenak dan terkejut, “Kamu berhenti kerja?” lalu Ibu membuka
lagi kertas kedua dan ia semakin terkejut, “Ini kan…tulisan ibu selasa kemarin. Kamu resign karna Ibu? Ibu ngga bermaksud...”
“Bu.." Nanda menggenggam kedua tangan sang Ibu, "Sebenernya aku emang udah lama pengen resign. Aku juga capek begini terus. Bagiku, kebahagiaan itu bukanlah hasil dari memilih antara kesuksesan atau keluarga, bukan berarti harus memilih mana yang akan dikorbankan. Kebahagiaan adalah tali penghubung antara kesuksesan dan keluarga. Karena kesuksesan itu tujuannya ya untuk membahagiakan keluarga. Jadi kalau keluarga nggak bahagia, berarti aku harus cari kesuksesan yang lain."
"Ini hanya soal waktu dan kesabaran. Dulu, aku nggak tahu gimana caranya menemukan kesuksesan yang lain. Aku belum punya modal, belum punya relasi." ia berhenti sejenak, "Sekarang... udah lima tahun aku berpikir, ngumpulin modal dan relasi. Aku rasa wirausaha adalah jalan yang tepat. Jadi kalau ibu kangen aku, tinggal jalan kaki aja ke depan komplek. Dan kalau ibu ada apa-apa, aku tinggal jalan kaki pulang. Hahaha.”
"Ini hanya soal waktu dan kesabaran. Dulu, aku nggak tahu gimana caranya menemukan kesuksesan yang lain. Aku belum punya modal, belum punya relasi." ia berhenti sejenak, "Sekarang... udah lima tahun aku berpikir, ngumpulin modal dan relasi. Aku rasa wirausaha adalah jalan yang tepat. Jadi kalau ibu kangen aku, tinggal jalan kaki aja ke depan komplek. Dan kalau ibu ada apa-apa, aku tinggal jalan kaki pulang. Hahaha.”
***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar