Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Maya

Perasaan itu maya, ia tak bisa diduga
Hanya jujur yang mampu mengungkap
M I C, 4 Mei 2016

            Dua suara motor terdengar dari kejauhan datang mendekat, tak sampai satu menit suara itu terhenti menandakan sudah terparkir di pekarangan. Pekarangannya luas sedangkan motor yang mengisi bisa dihitung dengan jari. Memang tidak banyak penghuni kos yang memiliki motor, mungkin karena lokasi kos bernama Pondok Reza ini cukup dekat dengan kampus, tidak lebih 10 menit dapat ditempuh dengan berjalan kaki santai.
***

“Roy, gue tahu lo suka kan sama Maya? Jujur aja.” Pertanyaan itu seperti gemuruh yang tiba-tiba saja datang di teriknya siang. Entah angin apa yang membawa topik percakapan itu ke dalam kamar itu. Roy hanya terdiam.


“Eng…eng…enggak.” Ia gugup. Sembari berpikir mencari alasan yang tepat, “Hahaha. Lagian kenapa tiba-tiba lo ngomongin Maya?” Ia mencoba tertawa, lima detik tak cukup untuknya mencari jawaban yang masuk akal.

“Barusan gue di-whatsapp Ami. Dia bilang Maya kayaknya nggak akan pacaran sama Gio.” Kalimat itu membuat Roy tersenyum lebar. Ami adalah pacar Reza sekaligus sahabatnya Maya. Kata-kata Ami tentunya sangat bisa dipercaya. Wajah Roy langsung terangkat dan tertarik untuk membahas itu lebih dalam, “Oh ya? Syukurlah!”

“Kok syukurlah? Tuh kan… lo jujur aja deh sekarang sama gue. Gue udah kenal lo sejak kita masih jadi mahasiswa baru sampe sekarang kita udah mahasiswa paling tue!”

“Hahaha. Bisa aja lo. Mentang-mentang udah punya pacar sekarang, gaya lo selangit!”

“Oh jelas dong. Daripada lo, empat tahun kuliah, masiiiiih aja jomblo. Tampang oke, otak nggak usah diragukan lagi...”

“Tapi…” Ia segera memotong.

“Kalau lagi nyanyi tuh, suaranya bikin klepek-klepek…”

“Tapi…” Ia lagi-lagi memotong. Ia yakin Reza tak sedikit pun berniat memujinya.

“Tapi nggak berani nyatain perasaan, makanya jomblo forever. Huu..”

“Ngeselin juga lo lama-lama ya.” Ia melemparkan bantal guling ke kepala Reza. Mereka hanya saling meledek, hingga kemudian berhenti, lelah. Reza memeluk guling dan merebahkan badannya di atas kasur.

“Woy! Kok lo malah tidur?” Ia menarik paksa bantal guling yang dipeluk Reza

“Lah suka-suka dong. Kamar, kamar gue. Kasur, juga kasur gue. Lo baca tuh nama kos di depan. PONDOK REZA.”

“Enak aja! Gue tiap bulan bayar ya ke nyokap lo. Lo bayar ke gue sini!”

"....."
***

“Oke! Gue jujur, gue suka sama Maya. Gue cinta sama Maya.” Akhirnya kalimat ini keluar dari mulut Roy setelah percakapan yang panjang di antara mereka, membuat Reza bersemangat lantas merubah posisi dari berbaring menjadi duduk.

“Nah gitu dong. Ayo sikat! Gio bukan cowok yang baik buat Maya. Maya sangat selektif dalam memilih pasangan. Sementara Gio sering banget gonta ganti pacar. Sekarang Gio mati-matian banget ngejar Maya. Ami bilang, tiap malam Maya dihubungin Gio, dua sampai tiga kali seminggu dijemput ke rumahnya, diajakin jalan, trus ditraktir makan.” Reza diam sejenak, mengambil botol minumnya. Sepertinya dia haus bicara panjang lebar.

“Asal lo tahu, Gio itu sudah dua kali nembak Maya, dan Maya selalu nolak. Tapi Gio itu emang dasar nggak tahu malu, nggak sadar diri juga. Jelas-jelas Maya nggak mau sama Gio, masih aja dideketin…” Lanjut Reza.

“…Maya itu cocoknya sama lo, Bro! Kalian sama-sama suka makanan padang, sama-sama hobi sastra. Sama-sama jago nyanyi. Apalagi pas pentas tahun kemarin, lo dan Maya nyanyi berdua di panggung, romantis banget!” Reza mengacungkan kedua jempolnya.

“Jadi tunggu apa lagi, bro? Nyatain cinta lo!” Reza menepuk bahu Roy, memberikan dukungan penuh.

“Ja, nyatain cinta itu gampang sebenarnya. Terlepas dari diterima atau ditolak. Kata orang, sulitnya nyatain cinta itu karena takut ditolak, malu, trus hubungan menjadi canggung bahkan sampai nggak saling sapa lagi.” Ia berdiri dari duduknya di kasur, lantas memandang ke luar dari jendela kamar.

“Hmm… Tapi menurut gue, yang sulit itu justru ketika diterima. Gue nggak tahu harus berbuat apa. Lo tahu gimana gue, janji gue sama orangtua gue bakalan lulus sarjana tepat waktu, lalu lanjut master ke Jerman. Gue nggak bisa melepas janji begitu saja. Apalagi janji ini dengan orangtua, orang yang paling penting dalam hidup gue.” Ia terdiam. Mencoba bernafas dalam-dalam sejenak.

“Hmm... mending nanti-nanti aja ketika gue udah siap. Toh, kalau jodoh juga nggak akan kemana kan?”

“Ya nggak gitu juga bro. Lo nyatain aja dulu biar dia tahu yang sebenarnya. Kalau lo tetep begini, bisa-bisa Maya keburu luluh sama si Gio. Cewek itu perasaannya lembut, diberi perhatian terus terusan pasti lama-lama jadi cinta juga. Apalagi Gio nya pantang mundur gitu.” Reza mengambil bantal guling dan kembali ke posisi tidur.

“Jujur ya, Ja. Satu-satunya cewek yang selalu ada di pikiran gue cuma Maya. Juga dalam doa gue. Semoga Allah menjaga dia, kemana pun kakinya melangkah…” Kalimatnya seperti terhenti oleh sesuatu. Pandangannya tetap ke arah jendela. Namun kali ini semakin tajam dan semakin fokus, “Eh, Ja. Itu sebelah motor lo kayak motornya Maya.”

“Ah…masa?”

“Iya, serius. Coba deh lo liat!” Mata Roy tak beralih, terus melihat motor itu.

“Coba lo pastiin aja keluar, barangkali emang ada Maya.” Reza tetap saja santai terlentang di atas kasur. Roy segera keluar kamar, dengan cepat. Namun langkahnya langsung terhenti di depan pintu. Diam. Terpaku. Membisu.

“Mm...mm...ma...maya?”

“Hai Roy. Aku tadi kesini barengan sama Eja. Aku cuma mau kasih ini. Tadinya mau langsung kasih ke kamu, tapi Eja bilang tunggu disini aja. Ada surprise.” Maya tersenyum. Manis sekali, pantas saja membuat Roy selalu memikirkannya, juga menyebutnya dalam doa.
“Ini. Ikutan yuk. Kayak tahun lalu.”

LOMBA BINTANG POP KAMPUS
SOLO – DUO – VOKAL GRUP – BAND

Roy hanya mengangguk, bibir dan lidahnya kaku, tak mampu lagi berkata.

“Oke deh kalau gitu. aku pamit ya.... Eja, aku pulang ya.” kepalanya muncul dari balik pintu melihat Eja yang sedang berbaring sambil tertawa sendiri, lantas Reza mengangkat jempol tangan kanannya sebagai balasan Oke.

“Oh iya Roy, ngomong-ngomong... makasih ya surprisenya. Makasih juga doanya…” Bicaranya pelan dan lemah lembut, memberikan senyuman tulus sebagai penutup perjumpaan mereka.

***

1 komentar :