Ketika
persahabatan dan pengkhianatan tak lagi terbedakan
Menampilkan
sisi kenyamanan dalam ruang ketidaknyamanan
Sebelumnya di Toska (2)
[…
tiba-tiba ada pesan masuk ke telepon selulernya. Dari Neni : ‘Ngakunya anak
rohis. Rapatnya sok-sok an pakai tirai, dikasih jarak segala cowok dan cewek.
Eh ternyata pacaran juga. Malah ngerebut pacar orang.’ …
…
“Kok udah pulang aja! Nggak jalan-jalan dulu sama Fajar! Kemana gitu kek!” …
…
“Aku dan Fajar ngga ada apa-apa kok. Beneran.” …]
***
Suara langkah kaki
silih berganti di belakangnya. Ada yang pergi ke arah luar, dan ada yang baru
datang ke arah dalam. Arah angin pun berganti-ganti mengikuti. Ya, saat itu dia
duduk tak jauh dari pintu, di lorong tempat orang berlalu lalang. Jemari
tangannya sibuk menekan keyboard laptop. Matanya tampak fokus menatapi layar.
Sementara telinga tetap memainkan peranannya di kiri dan di kanan. Ada tiga
orang yang baru datang, tak jauh darinya.
“Lo bayangkan, gue yang sahabatnya
sendiri, justru termasuk ke dalam daftar orang yang dia benci. Hanya karena gue
bikin tugas berdua sama Neni. Padahal nggak ada maksud sama sekali gue buat cari
kesempatan. Sejak itu dia dingin ke gue. Dia bahkan nggak pernah nyapa gue
lagi.” Bicara orang itu seperti berbisik, volumenya pelan namun cukup jelas
terdengar.
“Ah! Persetan dengan yang namanya
persahabatan! Sahabat macam apa itu! Bukankah sahabat itu tempat saling
berbagi? Kenapa tidak dibicarakan masalah itu? Kenapa kalau sudah urusan cinta,
urusan cewek, semuanya jadi bungkam seperti sudah saling tahu, padahal…” dia
berhenti sejenak, mencoba meredam emosi yang mulai memuncak, “Lo tau, gue lihat
sendiri dengan mata kepala gue, dia makan dengan Bulan di tempat makan yang
cukup jauh dari sini. Gue tahu maksud dia agar tidak ada yang memergoki mereka
sedang berdua-duaan.”
“Itu kapan? Sudah lama ya?” Tanya pria
itu penasaran.
“Baru-baru ini kok. Sekitar 5 hari yang
lalu. Gue nggak habis pikir aja kenapa Bulan mau, padahal jelas-jelas statusnya
Fajar masih pacaran sama Neni. Masalahnya kita sama-sama tahu Bulan itu anak
rohis, alim banget.”
“Yang gue tahu dari orang-orang, sejak
kejadian makan di kantin itu mereka seperti orang yang nggak kenal. Bahkan
ketika berpapasan sekalipun, Bulan langsung menunduk, dan buru-buru pergi.
Sedangkan dia sok-sok cuek. Gue kira mereka sudah nggak ada hubungan lagi.”
“Itu yang lo sebut persahabatan? Bukankah
persahabatan itu saling terbuka dan saling jujur? Bahkan lo tahu kejadian di
kantin itu pun bukan dari dia langsung. Lo tahu tentang sahabat lo dari orang
lain! Ah!” dia membuang muka. Tangannya nyaris ingin memukul meja di depannya.
Namun ia tetap mencoba mengendalikan emosi. Lorong itu bukan milik mereka
bertiga. Ada seseorang yang sedang fokus dengan laptopnya. Mungkin dia sedang
belajar untuk ujian. Atau mungkin dia sedang menyelesaikan tugas kuliah.
***
Hari sudah semakin
senja. Bayang-bayang jingga pun masuk ke dalam lorong itu. Cahaya matahari yang
terang sudah digantikan dengan cahaya lampu yang terbatas. Mungkin tak lama
lagi akan terdengar adzan maghrib. Namun bukan suara itu yang menjadi alasan
mengapa dia masih tetap disana. Padahal disana sudah tak ada siapa-siapa lagi.
Dia menunggu suara langkah kaki yang terdengar semakin mendekat.
“Hai, La. Pulang yuk.” Seseorang datang
mengajaknya pulang. Orang itu adalah Jasmin yang datang bersama Bulan. Mereka
sepertinya baru selesai rapat rohis. Hari itu cukup melelahkan. Perkuliahan
cukup padat sampai pukul tiga sore dan langsung dilanjutkan dengan rapat. Ada
acara kerohanian yang akan mereka adakan dalam waktu dekat. Mereka di kampus
ini bahkan sampai matahari nyaris kembali ke peraduannya.
“Aku sama Fajar nggak ada apa-apa kok.
Beneran.” Dia mencoba menirukan suara aslinya. Memberikan sindiran tentang
kebohongan. Tatapannya jelas tertuju pada Bulan.
“Maksud kamu apa, La?” Alisnya
mengkerut, matanya membalas tatapan Lala yang masih duduk disana. Jasmin hanya
diam. Bingung, tak tahu harus berbuat apa. Tanpa alasan tiba-tiba saja api
perselisihan itu menyala.
“Ah… aku sudah capek dengan sandiwaramu!”
sontak Lala berdiri. Arah tatapannya tak berubah. “Kita mengingatkanmu karena
kita peduli denganmu. Karena kita nggak ingin kamu salah pilih. Karena kita
sahabatmu!” nada suaranya semakin tinggi. “Tapi terserah!” Lala menoleh seolah
tak mampu melihat mata sahabatnya itu. Mata yang seharusnya tak kan pernah ada
dusta di pancarannya. Namun sayang, mata itu sudah tak bisa lagi dipercaya.
“Kamu mungkin tak menganggap kita
sahabat. Sahabat itu jujur! Sahabat itu terbuka!” Lala langsung membereskan
laptop dan kabelnya, memasukkannya ke dalam tas, menutup rapat resletingnya,
lantas pergi tanpa kata pamit. Bulan tertunduk. Tak mampu lagi berucap. Saat
itu mungkin memang tak perlu lagi ada kata-kata. Hanya kehadiran Jasmin di
sampingnya yang mendekap dan menenangkan.
***
selanjutnya di Toska (4)
soon
Tidak ada komentar :
Posting Komentar