Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah

Trauma

Terinspirasi dari kisah nyata sepasang sahabat, Agustus 2015
Sejarah pasti terulang, begitupun kisah cinta
 
 
        Titik-titik air dari shower itu deras mengucuri tubuhnya. Perlahan seluruh rambutnya yang tebal itupun basah. Baju kaos oblong yang ia pakai pun basah semua, hingga terus mengalir ke celana jeans di bawahnya. Ia biarkan air terus meresap ke dalam, menyentuh raganya yang sedang panas. Ia sangat menginginkan hujan datang, walaupun lima bulan terakhir ini tak pernah menyapa. Setidaknya untuk senja ini saja. Memang kemarau panjang seolah tiada akhir.
 
        Nafasnya terengah-engah, diikuti dengan bahu yang naik turun. Matanya tak mampu terpejamkan oleh derasnya air, hanya sesekali berkedip. Dari bibir yang basah itu terpercik air karena hembusan nafas yang keluar, sesekali terhenti. Kedua telapak tangan menempel di dinding, diantara sebuah kaca. Bayangan di kaca itu tajam membalas tatapan sinisnya.
***
 
        “Kok tiba-tiba jadi kaku banget? Kenapa sih, Bal? Ada masalah?” Mita memulai percakapan, mencoba menepis keheningan yang lama saat itu. Iqbal hanya diam. Ia seolah sulit untuk berbicara. Ada sesuatu yang tertahan dalam bibirnya. Mita pun berdiri beranjak dari kursi yang terletak tepat di depan Iqbal, lalu kembali duduk di kursi sebelah kanan Iqbal, “Bal, kalau ada masalah cerita aja. Bukankah kita ada buat saling share, saling care?”. Iqbal masih tertunduk diam, keempat jemari tangan kirinya silih berganti mengetuk meja segiempat itu. Sementara jari-jari tangan kanannya terlihat kaku mengepal di atas saku celana.
 
        Tak lama berselang dalam suasana sepi itu, seorang wanita berbaju hitam rapi dengan topi hitam pun datang membawa dua gelas panjang minuman di atas baki kayu berwarna cokelat kehitaman. “Milkshake chocolate satu, cappuccino ice cream satu,” Ia meletakkan satu per satu minuman pesanan Iqbal dan Mita di atas meja mereka, “Pesanan sudah lengkap, ada lagi yang bisa saya bantu?” lanjut wanita itu. Mita hanya membalas dengan senyuman ke arah wanita itu lantas wanita itu pergi kembali setelah menutup dengan ucapan terima kasih.
 
        “Lo minum dulu deh mending, Bal. Tenangin dulu. Masih siang kok. Santai aja.” Mita menggeser gelas yang berisi cappuccino ice cream ke tangan kiri Iqbal. Mita menolehkan pandangannya ke arah jalanan di balik jendela kaca. Mobil dan sepeda motor silih berganti lewat. Banyak juga yang berjalan kaki. Ada pula yang berdiri di trotoar, entah menantikan jemputan, atau sekedar berteduh di tengah teriknya matahari. Trotoar di depan café itu memang cukup sejuk dengan pepohonan besar yang tumbuh di sepanjangnya. Setidaknya berdiri disana bisa untuk menyeka keringat sejenak.
 
        Iqbal mengangkat tangan kanannya lalu mengarahkan sedotan ke dalam mulutnya. Sekitar tiga tegukan ia meminum cappuccino tersebut lantas menghela bernapas panjang, “Ta, gue mau cerita hal penting.”. Suasana semakin kaku dan dingin, meski kemarau menjadi musim kala itu. Bunyi dedaunan kering yang jatuh seolah terdengar keras apalagi terinjak oleh lalu lalang pelanggan café disana. Mita hanya tersenyum manis, “Ada apa sih, Bal? Cerita aja. Gue kan memang selalu menjadi pendengar sejati buat lo.”
 
        “Gue tiba-tiba ngerasa ada sesuatu, Ta.” Ucap Iqbal. Senyuman Mita seolah memudar tergantikan oleh wajah yang mulai serius. “Gue nggak tau ini apa, yang jelas rasa ini nggak enak banget dipendam.” Iqbal menatap ke arah pelayan wanita berseragam hitam itu. Tangan kanannya kembali ia turunkan ke bawah meja, menempel di atas celana jeansnya.
 
        “Cinta?” satu kata pertanyaan dari Mita terlontar. Alis matanya otomatis naik memancarkan rasa penasaran dalam suatu tebakan.
 
“Mungkin. Tapi nggak tahu pasti. Gue takut.” Tangan kanannya semakin bergetar, kaku.
 
“Kenapa takut sih, Bal? Ad ague. Gue bantuin lo sampai titik darah penghabisan gue. Hahaha.” Mita mencoba mencairkan suasana yang sangat serius itu. “Tenang, Bal. Ada gue. Tenang.” Ia meletakkan telapak tangannya ke bahu Iqbal lalu mengusap perlahan.
 
“Sekarang gini, lo cerita dulu ke gue, siapa cewek itu, gimana karakternya. Hmm….ada fotonya nggak, gue mau lihat deh.” Mita tampak sangat tertarik menantikan cerita Iqbal selanjutnya.
 
“Tu, tu, tunggu dulu deh. Gue mau cerita dulu. I.., i.., ini belum sele..sai, Ta.” Iqbal terlihat semakin gugup, matanya terus mengikuti gerak gerik pelayan wanita itu. Hitam. Kegelapan laksana sedang menyelimuti pandangannya.
 
“Lo inget kan, dulu gue pernah cerita gue pernah nembak cewek terus ditolak?”
 
“Ya, ya. Alasannya karena ingin fokus belajar. Karena masa depan itu ditentukan oleh masa sekarang. Kejadian itu akan terus terulang laksana siklus hidup biologis. Orang hebat akan mewariskan kehebatannya kepada keturunannya. Begitu juga orang gagal akan mewariskan kegagalannya. Tapi ada satu yang mampu memotong siklus kegagalan itu, yaitu pendidikan. Benar kan?” Mita mengulangi cerita masa lalu Iqbal dengan satu kali tarikan napas. Kali ini tingkahnya itu benar-benar berhasil memecah belenggu di muka Iqbal. Iqbal tertawa lebar.
 
“Lo masih inget ternyata. Hahaha.”
 
“Nah, gitu dong mas bro. Dari tadi muka tegang banget kayak kabel listrik aja. Hahaha.” Ucap Mita sambil tertawa.
 
“Lo percaya nggak kalimat yang mengatakan sejarah itu pasti terulang? Gue takut, Ta.”
 
“Maksudnya kalau lo nembak cewek lagi, bakalan ditolak lagi gitu? Hahaha. Jangan pesimis gitu dong, Bal.” Mita menepuk bahu kanan Iqbal sambil tertawa lagi.
 
“Gini, nggak Cuma lo yang pernah ditolak, banyak laki-laki yang pernah ditolak cintanya. Hasilnya, ia pasti akan menemukan cinta sejati itu. Jadi kalimat sejarah pasti terulang itu nggak mungkin lah. Lo harus optimis! Yakin! Kalau lo yakin itu cinta sejati lo, tembak dia sekarang juga! Hahaha…….” Lanjut Mita dengan tawanya yang panjang.
 
“Gue suka sama lo, Ta. Gue sayang lo.” Ucapan itu seketika menghentikan tawa Mita. Hening. Sunyi.
 
..........

“E.., e.., hmm lo becanda aja nih. Hehe. Eh atau lo mau latihan nembak tuh cewek?” Mita mencoba mengembalikan keceriaan. Namun wajahnya tak mampu menutupi itu. Kini giliran Mita yang terbelenggu kaku.
 
“Ta, dua tahun gue memendam rasa ini. Mencoba ikhlas jadi sahabat lo. Tapi nggak bisa, Ta. Gue nggak bisa. Nggak mungkin cewek dan cowok itu sedeket ini hanya sebagai seorang sahabat. Semakin gue deket sama lo, semakin besar rasa ini.” Mita hanya diam. Tertunduk menutupi wajahnya dari pandangan Iqbal. Tak tahu harus menjawab apa. Laksana ular yang ingin memakan anak yang baru saja dilahirkannya. Ia sadar ucapannya. Ia yang menyuruh Iqbal mengungkapkannya. Namun itu tak mungkin. Jelas tak mungkin.
 
“Nggak usah bicara kok, Ta. Lo dari tadi udah banyak bicara. Diam lo udah jadi jawaban buat gue. Lo tau, Ta, dulu waktu gue ditolak itu, pelayan yang datang juga berseragam hitam. Kelam. Gelap pekat. Seolah ramalan yang menggambarkan perasaan gue setelah itu. Begitu juga sekarang.”
 
***
 
        Perlahan ia mulai merasakan dinginnya air yang mengalir berjalan melewati pori-pori kulitnya. Pandangannya beralih ke ventilasi kecil di dinding bagian atas kamar mandi. Ia tak melihat hujan turun. Senja itu terang benderang. Langit berwarna jingga kemerahan menyala. Ini adalah hari yang berbeda. Tak seperti waktu itu, kelamnya hati disertai dengan kelamnya awan yang langsung menurunkan derasnya hujan. Ini hanya sedikit modifikasi sejarah.
 
        Kepalanya menengadah. Menantang derasnya air. Kini kedua bola mata itu dipejamkan. Sesekali air yang masuk ke dalam rongga mulutnya dikeluarkan. Mungkin ada pula air yang keluar dari kelopak matanya. Air yang murni dari lubuk hati. Namun tak dapat dibedakan. Memang sengaja ia sembunyikan. Karena laki-laki tak ditakdirkan untuk menangis.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar