Pages

حي على الفلاح

حي على الفلاح
Menang bukan berarti tidak pernah kalah, tetapi menang berarti tidak pernah menyerah
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Dua Cahaya

tentang dia, sang cahaya penuntun
dan dia, zat yang tercipta dari cahaya
MIC, 27 Agustus 2018

Ia bergegas merapikan meja kerjanya yang baru saja mulai berantakan. Pagi itu tepat pukul 10.33, hari senin, hari yang penuh semangat memulai awal minggu yang baru. Seolah pada hari itu cahaya matahari lebih terang dibandingkan hari lainnya. Namun semangat itu hilang seketika, pikirannya buyar, sudah tak fokus lagi untuk mengurusi tumpukan-tumpukan kertas di meja itu. Satu kata dalam benaknya, hanya satu kata saja, bergegas!

Alasan Sebuah Rasa


Rasa tak muncul begitu saja
Selalu ada alasan untuk ia ada
MIC, Januari 2019

“Fahma, tunggu!” seseorang berteriak dari kejauhan. Rayhan. Lantas ia mengejar mendekat, “Aku ingin bicara.” Rayhan menghela napas sejenak. Ia tepat berada di depan Fahma yang tertunduk. Gelisah, hendak segera pergi, tak mau menatap sosok di hadapannya itu.

“Fahma! Kamu kenapa sih? Ada apa?”

“Nggak ada apa-apa kok, Han. Aku harus buru-buru pulang, mau hujan.” Fahma segera bergegas pergi meninggalkan pertemuan itu. Saat itu, langit biru memang tak tampak, diselimuti oleh awan hitam tebal. Angin kencang mengayunkan pepohonan di tepi jalan, menggugurkan dedaunan kering kemuning di sekitar mereka. Namun Rayhan menahan Fahma, ia menggenggam erat tangan Fahma, tak dibiarkan pergi begitu saja.

Gift

Untukmu, kado terindah dari Tuhan untukku
Agar kamu selalu bersyukur atas ketidakpastian hidup ini


“HHH….HHH…HHH…” napasnya sesak sekali, matanya terbelalak, mulutnya menganga, mencoba tetap kuat bertahan dengan udara yang sangat banyak namun sulit untuk mencapai paru-parunya.  Badannya lemas terduduk di lantai, bersandar di samping dipan, tak berdaya. Tangannya lurus ke lantai, mencoba menahan badannya agar tak jatuh terlentang, karena ia tahu posisi terlentang akan membuatnya semakin sulit untuk bernapas.

“Rahmi!” Mama mendengar suara napas sesak itu. Ia berlari menuju kamar Rahmi, “Rahmi!” lantas berteriak “Papa! Papa! Papa!”. Papa baru saja pulang dari kantornya, tak sampai sepuluh menit saja merebahkan diri di sofa ruang tamu, beristrahat, lantas terkejut dan segera mendatangi Mama.

Mama berteriak histeris di dalam kamar, “Ya Allah...Rahmi, kamu lihat apa lagi, Nak?! Musibah apa yang akan datang?! Ya Allah…”

Perseverance


Sebuah kenangan indah masa SMA, 2010
When perseverance made you falling in love


[Ingatan]
“Arsan janji, Bu. Arsan akan bawa nama SMA ini ke olimpiade sains nasional. Tahun ini nggak ada satupun yang lolos. Tapi tahun depan, minimal dua dari tiga perwakilan provinsi dari SMA ini. Arsan janji, Bu.” wajahnya serius, Nampak sangat meyakinkan, penuh percaya diri.

“Hahaha.. Arsan.” Bu Irnawati mengusap-usap bahunya sambil tersenyum, “Kamu ini mirip sekali dengan murid Ibu, Syafniwati. Sekarang dia sudah jadi Professor Kimia Analitik di universitas ternama. Ibu percaya, kamu pasti bisa. Nanti kalau kamu lolos di tingkat kota, kamu akan dilatih sama Bu Syafni, jangan lupa sampaikan salam Ibu untuk beliau. Ibu yakin kamu pasti akan jadi orang besar seperti Syafniwati, atau bahkan bisa lebih hebat lagi. Ibu percaya.”
***

Graduation

25 Sept 2016
Sebuah pertemuan antara kebahagiaan dan kesedihan

[Ingatan]
“Karna kamu perempuan paling cantik yang pernah aku temui. Jujur, sangat sulit bagiku melupakan wajahmu. Ini bukan rayuan, ini bukan gombalan. Sungguh. Kamu selalu ada dalam mimpi indahku.”

Surat Ibunda

Selasa, 20 September 2016
Ananda tersayang,
Apakah hidup itu selalu harus memilih?
Apakah kesuksesan itu tak bisa bersanding dengan keluarga?
Apakah selalu ada yang harus dikorbankan?
Jikalau itu sebuah pilihan, mengapa kau tak memilih keluarga?
Apakah kesuksesan lebih membuatmu bahagia?
Ibu tak menyalahkanmu nak,
Ibu hanyalah mengutuk sang waktu,
Yang begitu kejam tak memberimu kesempatan untuk bersama Ibu

Maya

Perasaan itu maya, ia tak bisa diduga
Hanya jujur yang mampu mengungkap
M I C, 4 Mei 2016

            Dua suara motor terdengar dari kejauhan datang mendekat, tak sampai satu menit suara itu terhenti menandakan sudah terparkir di pekarangan. Pekarangannya luas sedangkan motor yang mengisi bisa dihitung dengan jari. Memang tidak banyak penghuni kos yang memiliki motor, mungkin karena lokasi kos bernama Pondok Reza ini cukup dekat dengan kampus, tidak lebih 10 menit dapat ditempuh dengan berjalan kaki santai.
***

“Roy, gue tahu lo suka kan sama Maya? Jujur aja.” Pertanyaan itu seperti gemuruh yang tiba-tiba saja datang di teriknya siang. Entah angin apa yang membawa topik percakapan itu ke dalam kamar itu. Roy hanya terdiam.

Toska (3)

Ketika persahabatan dan pengkhianatan tak lagi terbedakan
Menampilkan sisi kenyamanan dalam ruang ketidaknyamanan

Sebelumnya di Toska (2) 
[… tiba-tiba ada pesan masuk ke telepon selulernya. Dari Neni : ‘Ngakunya anak rohis. Rapatnya sok-sok an pakai tirai, dikasih jarak segala cowok dan cewek. Eh ternyata pacaran juga. Malah ngerebut pacar orang.’ …
… “Kok udah pulang aja! Nggak jalan-jalan dulu sama Fajar! Kemana gitu kek!” …
… “Aku dan Fajar ngga ada apa-apa kok. Beneran.” …]
***
Suara langkah kaki silih berganti di belakangnya. Ada yang pergi ke arah luar, dan ada yang baru datang ke arah dalam. Arah angin pun berganti-ganti mengikuti. Ya, saat itu dia duduk tak jauh dari pintu, di lorong tempat orang berlalu lalang. Jemari tangannya sibuk menekan keyboard laptop. Matanya tampak fokus menatapi layar. Sementara telinga tetap memainkan peranannya di kiri dan di kanan. Ada tiga orang yang baru datang, tak jauh darinya.

Toska (2)

Tentang ketidakpastian benarkah biru atau hijau yang terlihat
Dan tentang keraguan benarkah cinta atau hanya kekaguman yang tersimpan

Sebelumnya di Toska (1)
[… Wajahnya langsung berubah masam. Langkahnya terhenti sejenak menatap sinis. Seketika kedatangan Lala laksana petir yang menggelegar, sontak mereka terdiam sejenak …
“Kita akhwat, Lan. Kita setiap minggu liqo. Kita ngerti agama. Aku minta tolong jaga dirimu. Tak pantas anak rohis berdua-duaan dengan laki-laki…”…
… “Sebaiknya kita nggak usah lagi dekat, apalagi sedekat ini, dan hanya berdua.”
“Tunggu dulu, ini nggak adil…” Fajar terdiam dalam rasa penasaran. Alisnya sedikit mengkerut. Tatapannya hanya tertuju pada sebungkus plastik di dalam tasnya …]
***
Satu motor datang melaju dengan kencang dari arah tempat parkir. Motor tersebut lurus menuju halte bus. Lantas tepat berhenti di depannya sejenak. Laki-laki itu menurunkan kedua kakinya menahan motor yang berhenti. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Tak ada satu pun orang disana. Begitupun orang dari kejauhan, tak ada yang sedang berjalan menuju halte itu. Lantas ia menyalakan kembali motornya dan pergi.

Kelam (2)

Desember 2015
Tetapi saat ini semuanya berubah
Tetap akan kelam meski kau bawakan matahari
Sebelumnya di Kelam (1)
[… Sekitar dua tahun yang lalu… Aku berdoa… Aku tidak butuh dia seorang yang gagah, tampan atau rupawan. Aku hanya realistis saja, yang terpenting dia bisa menafkahi lahir dan bathin …
… Aku langsung terkejut bukan main. Ketika mataku terbuka, Mas Dimas sudah duduk di sampingku …
… “Tika, maafkan aku, aku mohon maafkan aku… Aku sangat mencintaimu, tapi rasa itu tak mampu mengalahkan hormat dan cintaku pada ibuku… Ini pertemuan terakhir kita. Aku harap kita saling melupakan satu sama lain.” …]
***

Semenjak itu, silih berganti laki-laki dikenalkan padaku. Bahkan ada yang lebih kaya dari Mas Dimas. Bukankah itu yang aku dambakan? Suatu realita kehidupan berumah tangga. Lagi-lagi terpikirkan akan hal itu. Manusia butuh hidup yang layak, pun manusia dalam rumah tangga. Tak akan mungkin hanya hidup dengan cinta dan rasa ikhlas menerima satu sama lain. Tak akan mungkin hidup hanya dengan memandang kecantikan dan ketampanan. Jelas-jelas harta tak bisa dinomorduakan. Harta akan selalu setara dengan apapun yang dinomorsatukan. Ya, itulah realita kehidupan.

Lentera

Desember 2015
Untukmu sahabat, yang terus mencari lentera di gelapnya malam
Sementara di dalam rumahmu, lentera bersinar terang benderang
Hingga saatnya tiba, ia ‘kan padam tanpa terduga

Di sana hening, hanya terdengar suara tetes demi tetes cairan infus yang turun dari wadahnya perlahan lalu mengalir melewati selang. Tangan kanannya dilipat dan direbahkan di atas pinggiran kasur itu. Pipi kanannya bertumpu di atas punggung tangan kanan tersebut. Sementara tangan kirinya sibuk mengelus lembut tangan Papa yang sedang berbaring. Matanya sayu-sayu, setengah terbuka. Tatapannya kosong, tak jelas memandang benda apa. Hingga mata itu terpejam.
***
            Jam menunjukkan pukul 23.00. Tiba-tiba terdengar suara mengetuk pintu. Dengan rambut yang agak kusut dan muka yang mengantuk, Mama segera keluar kamar, bergegas membukakan pintu, “Hai. Sudah pulang sayang?”.

Toska (1)


Desember 2015
Tiada lagi batas antara biru dan hijau
Laksana bentangan langit dan hamparan padang rumput berpadu



[Ingatan]

“Bukan gimana-gimana ya, untuk sekarang aku sama sekali nggak kepikiran… Eh, tapi aku nggak tahu juga. Aku hanya takut termakan omonganku sendiri…”


        Wajahnya langsung berubah masam. Langkahnya terhenti sejenak menatap sinis. Pandangannya tajam penuh makna. Lantas ia segera pergi meninggalkan mereka berdua. Ya, disana ada Bulan dan Fajar yang sedang duduk berdua di luar kantin. Kala itu kantin sangat sepi, bahkan hanya ada mereka berdua. Seketika kedatangan Lala laksana petir yang menggelegar, sontak mereka terdiam sejenak, lalu menyapa dengan sedikit senyuman yang mereka yakini itu hanyalah basa basi yang tak akan memberikan balasan. Benar saja, Lala melanjutkan langkahnya pergi dari kantin, tanpa kata, tanpa membalas senyuman.

Menari di Udara


November 2015
Untuk kau, dua orang disana, yang damai di surga, dan tak kan pernah kembali
Biarkan bayang-bayang menari dalam terang, di udara tanpa berpijak
 
        “Dia cantik ya, Mas? Cantik… Cantik… Cantik…” Wajahnya tersenyum lesu. Napasnya masih terseka-seka perlahan. Bicaranya sangat lambat. Lelah. Letih yang bertambah-tambah. Rasa sakit yang teramat sangat usai perjuangan hebat, “Anak pertama kita, Mas. Alhamdulillahirabbil’alamin. Kita beri nama siapa, Mas?”. Setyo membelai lembut rambut Alin dengan tangan kanannya. Ia hanya membalas senyuman yang dalam. Tanpa kata. Tangan kirinya menggenggam lengan Alin. Jempol di tangan kiri itu bergerak mengusap ke kiri dan ke kanan. Setyo menghirup napas panjang, lalu melepaskannya perlahan.

Trauma

Terinspirasi dari kisah nyata sepasang sahabat, Agustus 2015
Sejarah pasti terulang, begitupun kisah cinta
 
 
        Titik-titik air dari shower itu deras mengucuri tubuhnya. Perlahan seluruh rambutnya yang tebal itupun basah. Baju kaos oblong yang ia pakai pun basah semua, hingga terus mengalir ke celana jeans di bawahnya. Ia biarkan air terus meresap ke dalam, menyentuh raganya yang sedang panas. Ia sangat menginginkan hujan datang, walaupun lima bulan terakhir ini tak pernah menyapa. Setidaknya untuk senja ini saja. Memang kemarau panjang seolah tiada akhir.
 
        Nafasnya terengah-engah, diikuti dengan bahu yang naik turun. Matanya tak mampu terpejamkan oleh derasnya air, hanya sesekali berkedip. Dari bibir yang basah itu terpercik air karena hembusan nafas yang keluar, sesekali terhenti. Kedua telapak tangan menempel di dinding, diantara sebuah kaca. Bayangan di kaca itu tajam membalas tatapan sinisnya.

Makna

Terinspirasi dari tragedi kereta api, September 2014
untuk para sahabatku, agar kau tahu makna cinta sesungguhnya


        Rani berjalan begitu cepat, sangat tergesa-gesa karena matahari sudah mulai menampakkan sinarnya. Matanya melirik kiri dan kanan dengan cepat, terburu-buru menyeberang. Sebuah tas agak besar cukup bagus disandang dibahu kanannya dengan tangan menjepit tas tersebut. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Rani termenung sejenak sambil menatapi kereta KRL yang melintas di hadapannya

 [Suara ingatan]
 “Adiknya pinter kok kakaknya enggak?”
“Kamu hebat sekali, Ren. Jauh lebih hebat dari kakakmu”
“Padahal orangtuanya sama, makanannya juga sama, tapi yang satu juara olimpiade dan selalu juara kelas. Eh yang satunya nggak pernah dapet ranking, yang ada pernah nggak naik kelas”
“Ha? Serius kakaknya rendi itu? Mana mungkin? Adiknya saja pintar”
 

Kelam

         Terinspirasi dari kisah nyata seseorang, Oktober 2014
bahwa dunia akan kelam kala ditinggalkan cinta
 
 
        Aku tiba-tiba teringat ketika masa itu. Sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu aku berdoa kepada Allah, segerakan jodohku. Aku tidak butuh dia seorang yang gagah, tampan atau rupawan. Aku hanya realistis saja, yang terpenting dia bisa menafkahi lahir dan bathin. Ya, kurasa itu sangat wajar. Bukan karena aku matre, aku hanya mencoba realistis. Toh, manusia tidak bisa hidup hanya dengan cinta. Manusia tidak bisa hidup hanya dengan belaian kasih sayang atau ungkapan romantis yang indah didengar. Pun, manusia tidak bisa hidup dengan saling memandang ketampanan dan kecantikan. Intinya, cinta itu penting, tetapi harta juga penting. Bagiku tak ada yang bisa dinomorduakan. Banyak orang yang bercerai karena sudah lelah hidup susah. Karena bagaimanapun hidup miskin harta itu hanya akan memicu pertengkaran dalam rumah tangga. Oke, istri dan suami masih bisa terima. Tetapi bagaimana dengan orangtua? Oke kalau orangtua juga berjiwa besar. Bagaimana dengan anak? Ia pasti akan iri dengan teman-temannya, senantiasa bersedih dengan takdir yang tak adil. Ya, begitulah hidup. Realistis

Semu

Terinspirasi dari kisah nyata saat gempa di hari Jumat tahun 2011

 
        Anak muda itu bangkit dan membuka selimut tebalnya. Perlahan rasa menggigil hebat mulai sedikit mereda. Ketika itu ia melihat di depan pintu kamar ada Arin, gadis belia cantik yang sangat ia puja. 

“Hai, Rin. Syukurlah kau baik-baik saja. Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Masuklah. Duduklah disini.” Yoga mengibas-ngibaskan bagian kasur di sebelah kanannya hingga tampak lebih rapi dan bersih dari debu-debu halus.